REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah Myanmar memberlakukan jam malam dan mengerahkan lebih banyak tentara ke negara bagian Rakhine. Kebijakan pemerintah Myanmar ini mendapat krtik dari pelapor khusus PBB, Yanghee Lee. Menurut Yanghee Lee, kebijakan pemerintah Myanmar ini akan menjadi perhatian utama PBB.
"Rencana sedang dilakukan untuk memperkuat pasukan keamanan dan pasukan militer dengan penempatan pasukan tambahan, menambahkan jam malam akan diberlakukan di area yang diperlukan," ujar juru bicara Myanmar seperti dilansir Aljazirah, Sabtu (12/8).
Menurut pernyataan tersebut. tujuan diberlakukannya jam malam untuk mencegah teroris ekstremis. Penambahan pasukan militer ini diberlakukan setelah terjadi kekerasan dalam beberapa bulan terakhir dengan puluhan penduduk desa terbunuh dan diculik yang mengenakan penutup muka.
Situasi di Rakhine telah dipenuhi oleh kekerasan sejak Oktober tahun lalu ketika pejuang etnis Rohingya menyerang pos polisi, memicu pertumpahan darah selama sebulan. Dalam peristiwa ini, militer Myanmar dituduh melakukan pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran sistematis kepada etnis Rohingya.
Pemerintah menyalahkan pembunuhan pada pemberontak dilakukan oleh para pejuang etnis Rohingya atau Arakan Rohingya Salvation Army, yang mengklaim melakukan penggerebekan di pos polisi Oktober lalu. Kelompok tersebut membantah membunuh warga sipil dalam pernyataan yang dikeluarkan melalui akun Twitter.
Komunitas Rohingya di daerah terpencil juga terus digerebek, dengan pasukan keamanan mengeluarkan tembakan peringatan saat berhadapan dengan sekelompok penduduk desa awal bulan ini. Pakar hak asasi manusia PBB, Lee mendesak pihak berwenang untuk melakukan operasi keamanan mereka sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.
"Pemerintah harus memastikan bahwa pasukan keamanan menahan diri dalam segala situasi dan menghormati hak asasi manusia dalam menangani situasi keamanan di Negara Bagian Rakhine," katanya.
Myanmar yang beragama Buddha telah lama mendapat kritik karena perlakuannya terhadap lebih dari satu juta Rohingya yang berjuang untuk mengakses layanan dasar. Pemerintah menolak kewarganegaraan Rohingya.
Kaum minoritas secara luas dicerca sebagai migran ilegal dari Bangladesh, meskipun telah tinggal di daerah tersebut selama beberapa generasi. Sebuah komisi yang ditunjuk pemerintah di negara tersebut telah menolak tuduhan pelanggaran yang meluas. Myanmar juga menolak mengizinkan tim pencari fakta PBB untuk melakukan penyelidikan sendiri.