REPUBLIKA.CO.ID,Menghadiri upacara Peringatan Kemerdekaan Indonesia di dalam negeri dan di luar negeri ternyata memberikan pengalaman dan suasana hati berbeda. Itulah yang dirasakan Pratiwi Utami, mahasiswi S2 Komunikasi dan Studi Media di Monash University ketika menghadiri perayaaan 17 Agustus di Melbourne.
Berikut tulisannya untuk Australia Plus.
Ini adalah tahun kedua saya bertemu dengan tanggal 17 Agustus di Australia. Tahun lalu, saya harus melewatkan Hari Kemerdekaan tanpa bentuk perayaan apa pun.
Saya tak bisa mengikuti upacara di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Melbourne maupun prosesi pengibaran bendera Merah Putih di pusat Kota Melbourne, karena berbenturan dengan aktivitas kuliah.
Sedih sekali rasanya. Saya merasa sendirian, hanya bisa mendengar cerita kawan-kawan mahasiswa lain yang mengikuti acara tersebut.
Pratiwi Utami (kiri) beersama seorang pengibar bendera Paskibra Diana Nur Fatimah dari Monash University. Foto: Istimewa
Saya merasa asing di tengah foto-foto dan rekaman video acara yang berseliweran di media sosial. Saya memang sempat mengintip tayangan upacara Hari Kemerdekaan di Istana Negara dengan cara menonton live streaming di laptop, namun sulit bagi saya untuk tidak merasa hampa.
Sudah sejak beberapa tahun terakhir Hari Kemerdekaan RI di Kota Melbourne dirayakan dengan prosesi pengibaran bendera Merah Putih dan pertunjukan budaya, melengkapi acara seremoni di KJRI.
Lokasi kedua kegiatan tersebut adalah di Federation Square, tepat di jantung kota. Pemerintah setempat menyediakan Fed Square – demikian sebutan akrab bagi tempat ini – untuk digunakan oleh berbagai komunitas menggelar kegiatan.
Di Fed Square, negara-negara yang sedang berulangtahun diperbolehkan memasang benderanya di sederet tiang bendera yang tersedia di sana. KJRI kemudian mengambil inisiatif menggelar upacara pengibaran bendera dan pertunjukan budaya di tempat ini setiap tanggal 17 Agustus.
Tahun ini saya cukup berbahagia karena bisa hadir dalam kegiatan tersebut. Meski tak bisa ikut upacara di KJRI, namun saya berhasil mengikuti kegiatan di Fed Square, Kamis (17/8) kemarin, dari awal sampai akhir. Prosesi yang dihadiri ratusan orang Indonesia maupun lokal dan dikawal penjagaan polisi setempat itu berlangsung khidmat.
Saya menyaksikan kawan-kawan mahasiswa yang telah berlatih sejak April lalu, berbaris membawa bendera Merah Putih dan mengibarkannya di langit Melbourne. Ketika petugas maupun peserta prosesi bersama-sama mengumandangkan lagu Indonesia Raya mengiringi bendera yang dinaikkan perlahan menuju puncak tiang, tak terasa air mataku mengambang.
Usai pengibaran bendera, pengunjung pun dihibur oleh pertunjukan tarian Papua yang ditampilkan warga Indonesia yang tinggal di Geelong, salah satu kota di negara bagian Victoria, sekitar 1,5 jam dari Melbourne.
Tarian Papua oleh penari Sanggar Widya Luvtari dari Geelong. Foto: Sastra Wijaya
Mereka menari lengkap dengan kostum, properti, dan rias wajah khas Papua. Setelah itu, hadirlah tokoh yang ditunggu-tunggu. Tahun ini, KJRI mengundang Michael Jakarimilena, alumnus Indonesian Idol angkatan pertama asal Papua.
Ada sekitar lima lagu yang dia nyanyikan, termasuk “Raya Indonesia” ciptaan Bimbim Slank, “Indonesia Tanah Air Beta”, medley “Sajojo-Poco Poco”, dan ditutup oleh “Kopi Dangdut”.
Meriah sekali konser mini kali itu, meski mendung menggantung di atas Federation Square, tapi para pengunjung cuek saja dan ikut bernyanyi dan menari bersama Michael. Saya senang sekali bisa menjadi bagian dari keriaan dan tradisi selebrasi ini.
Saya baru tahu, beginilah rasanya merayakan Hari Kemerdekaan RI di luar negeri. Ada bahagia, haru, dan bangga menyesaki dada saya. Saya juga menyadari, sebelum tinggal di Melbourne, mengikuti upacara “Tujuhbelasan” sepertinya bukanlah keharusan bagi saya.
Hanya dilakukan kalau tempat kerja menunjuk saya untuk mengikuti upacara sebagai perwakilan institusi. Namun, begitu tinggal berseberangan benua dengan Indonesia, ada dorongan untuk hadir dalam upacara kemerdekaan. Dorongan yang datang dari hati.
Melihat Indonesia dari jarak jauh
Mungkin ini adalah bentuk kecil atas cinta Tanah Air. Cinta dan kangen yang menebal ketika berada jauh dari apa yang kita miliki selama ini. Orang bilang, jika ingin melihat penampakan rumah kita, ambillah jarak yang jauh sehingga bisa melihatnya secara utuh.
Saat mengambil jarak dari rumah, semua justru bisa terlihat jelas. Ternyata antena di atap rumah agak miring letaknya, ada deretan lumut membayangi tembok depan, dan cat rumah kita mulai memudar kusam.
Namun, dengan melihat rumah secara utuh, kita jadi sadar bahwa mungkin rumput tetangga lebih hijau, tapi bunga di taman kita lebih berwarna-warni dan pohon mangga kita lebih rimbun. Dari sana, cinta kepada rumah kita akan bertambah, dan tanpa mengambil jarak jauh tadi kita tak akan menyadari keadaan-keadaan itu.
Saat tinggal di Indonesia, mungkin saya merasa begitu terbiasa dengan momen “Tujuhbelasan”. Saking terbiasanya sehingga ia terasa sebagai bentuk ritual, yang penting ada perayaan, dan kemudian berlalu begitu saja.
Namun dengan meninggalkan Indonesia sejenak, tanggal 17 Agustus menjadi istimewa, lomba-lomba khas “Tujuhbelasan” menjadi sesuatu yang saya rindukan dan inginkan. Saya tidak mengatakan bahwa perasaan biasa yang muncul ketika berada di Indonesia itu menunjukkan nasionalisme saya kurang.
Michael J asal Papua membawakan beberapa lagu di Fed Square. Foto: ABC: Sastra Wijaya
Atau sebaliknya, mengikuti upacara bendera di Australia akan membuat nasionalisme saya lebih besar. Ini cuma soal rasa memiliki, rasa rindu, dan keinginan menjadi bagian dari yang namanya “Indonesia”, dimana pun berada.
Mengikuti peringatan Hari Kemerdekaan RI di luar negeri memungkinkan kita bertemu dengan saudara sebangsa setanah air – suatu hal yang spesial manakala kita adalah kelompok minoritas di sebuah masyarakat.
Pada kegiatan di Fed Square kemarin, ada ratusan warga Indonesia yang datang dan banyak di antaranya yang tidak saya kenal. Namun wajah mereka terasa akrab karena kami berkumpul di sana untuk alasan yang sama: ingin merayakan dan mendapatkan gelora Hari Kemerdekaan sedekat mungkin dengan yang ada di Indonesia.
Kami berkumpul, bersukacita bersama tanpa bertanya agama, asal suku dan pilihan politik yang mana. Kami datang ke Fed Square untuk merayakan Indonesia dan menghadirkannya di Australia.
Merdeka!
*Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis. Pratiwi Utami adalah mahasiswa program Master of Communications and Media Studies di Faculty of Arts, Monash University dan sebelumnya asisten dosen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.