REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono, pada Selasa (22/8), mengatakan, dunia harus terus menekan Korea Utara (Korut) guna mengendalikan program nuklir dan misilnya. Hal ini harus tetap dilakukan hingga Korut berkomitmen menghentikan program nuklir dan rudal yang dikembangkan.
"Ini bukan saatnya untuk membahas (dimulainya kembali) perundingan enam negara," kata Kano mengacu pada perundingan internasional yang melibatkan Korea, Amerika Serikat (AS), Rusia, Cina, dan Jepang untuk denuklirisasi Semenanjung Korea. "Ini saatnya memberi tekanan," ujar Kano menambahkan.
Kendati demikian, AS masih meyakini bahwa solusi untuk memecahkan krisis Korut adalah melalui jalur diplomasi. Hal tersebut diungkapkan oleh Duta Besar Perlucutan Senjata AS Robert Wood dalam sebuah konferensi pers perlucutan senjata yang digelar PBB di Jenewa, Swiss. "Jalan dialog masih menjadi pilihan (AS)," kata Wood.
Hal itu juga diungkapkan Kepala Komando Pasifik AS Laksamana Harry Harris yang saat ini tengah berada di Korea Selatan (Korsel) untuk melaksanakan latihan militer gabungan dengan negara tersebut.
"Jadi kami berharap dan kami bekerja untuk solusi diplomatik guna menghadapi tantangan yang diajukan oleh Kim Jong-un," katanya.
Menurutnya, diplomasi adalah titik awal yang paling penting dalam merespons ancaman Korut. Harris pun mengakui bahwa AS belum memiliki rencana untuk menyerang Korut.
Sebelumnya seorang juru bicara militer Korut mengulangi ancaman terhadap AS karena menggelar latihan militer gabungan dengan Korsel. Menurut Korut, latihan militer hanyalah dalih yang digunakan AS untuk menyerang Pyongyang.
"AS akan dimintai pertanggungjawaban sepenuhnya atas konsekuensi bencana yang diakibatkan oleh manuver perang agresif yang sembrono tersebut, karena mereka memilih sebuah konfrontasi militer," ujar juru bicara militer Korut