REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia menjadi salah satu negara terdepan dalam perdebatan mengenai dampak teknologi digital. Sejak reformasi, perkembangan teknologi digital dan demokratisasi berjalan bersamaan, meskipun dampaknya telah membuat sejumlah akademisi merasa pesimistis.
Demikian terungkap dalam diskusi bertema Digital Indonesia: Challenges and Opportunities of the Digital Revolution yang digelar di University of Melbourne, Selasa (22/8) malam. Diskusi ini menandai peluncuran kembali buku Digital Indonesia: Connectivity and Divergence yang diterbitkan ISEAS tahun 2017.
Para panelis terdiri atas Dr John Postill, dosen senior Ilmu Komunikasi pada RMIT University, Dr Inaya Rakhmani, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Dr Herlambang P Wiratraman, dosen Ilmu Hukum Universitas Airlangga, serta Dr Edwin Jurriens, dosen Indonesian Studies pada Melbourne University. Diskusi dipandu Tito Ambyo, dosen pada RMIT University.
Dr Postill yang pernah bekerja sebagai wartawan di Indonesia pada akhir 1980-an mengatakan, Indonesia penting dipelajari dalam digital politik jika membandingkan gerakan reformasi dengan apa yang terjadi di negara lainnya.
"Jika melihat revolusi di Eropa Timur di akhir 1980-an atau kejadian lebih baru mengenai Arab Spring, kasus Indonesia sangat menarik dipelajari dalam kaitan antara demokrasi dan digitalisasi," jelas Dr Postill.
"Indonesia merupakan satu di antara sedikit tempat dimana kita bisa mempelajari dua demokratisasi dan digitalisasi yang terjadi secara bersamaan," tambahnya.
Selain itu, Dr Postill menjelaskan juga bahwa Indonesia kini menjadi hub digital di Asia Tenggara untuk isu-isu terkait freedom activism.
"Jakarta dan Yogya misalnya memiliki banyak kelompok yang aktif bukan hanya di Indonesia tapi juga di kawasan dalam menghubungan kelompok-kelompok masyarakat sipil," papar penulis buku The Rise of Nerd Politics (2017) ini.
Tito Ambyo (paling kanan) memandu para panelis (dari kiri) Dr John Postill, Dr Inaya Rakhmani, Dr Herlambang P. Wiratraman, dan Dr Edwin Jurriëns. (Foto: ABC/Farid Ibrahim)
Ditanya apakah dia optimis atau pesimistis mengenai penggunaan teknologi digital di Indonesia dalam kaitannya dengan demokrasi, Dr Postill mengatakan pihaknya pesimistis dalam jangka pendek. "Dalam jangka panjang akan ada koalisi besar di antara kekuatan-kekuatan progresif yang menggerakkan ekonomi dan masyarakat menuju makin sedikitnya ketimpangan," ujarnya.
Kapan hal itu akan terwujud, menurut dia, masih sangat terfragmentasi. "Saat ini kelompok Islam kanan yang tampaknya lebih menonjol," katanya.
Sementara itu, Dr Herlambang menyatakan, berdasarkan pengalamannya saat ini terlalu banyak kasus penyalahgunaan terkait internet dan teknologi digital di Indonesia sehingga membuatnya pesimistis.
Dr Herlambang menyatakan sejak 2008 aturan UU ITE telah menjerat banyak pihak sehingga sejumlah akademisi membentuk kelompok Sepaham Indonesia untuk memberikan dukungan bagi para korban UU tersebut.
"Misalnya, penerapan pasal penghinaan siber dan penistaan agama. Ini menjelaskan mengapa pasal UU tersebut dengan mudah digunakan untuk menyerang orang lain," kata Dr Herlambang yang kini merupakan Indonesia Initiative fellow di Melbourne University.
Dia mengungkapkan bahwa saat ini tercatat 165 kasus hukum terkait dengan penerapan UU ITE tersebut.
Sementara itu Dr Inayah mengemukakan perlunya memahami bagaimana kekuatan-kekuatan lama membentuk diri kembali melalui teknologi digital ini. "Untuk berkembangnya demokrasi yang sehat diperlukan adanya model ekonomi alternatif yang mungkin bisa belajar dari model wikipedia," katanya.
Dalam diskusi terungkap pula bahwa perkembangan teknologi digital telah menawarkan model-model interaksi ekonomi dan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.