REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Amerika Serikat (AS) mendesak pihak berwenang Myanmar untuk menghindari respons kekerasan yang dapat memperparah konflik di Rakhine. Serangan militan Rohingya pada Jumat (25/8) di wilayah itu telah menewaskan sedikitnya 12 petugas keamanan dan 77 Muslim Rohingya.
Kantor pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengatakan militer dan polisi perbatasan akan menanggapi serangan militan tersebut dengan meluncurkan 'operasi pembersihan'. Para polisi melawan sekitar 150 militan Rohingya yang dipersenjatai dengan senjata api, parang, dan granat buatan sendiri.
Dilansir dari Washington Post, seorang saksi di kota Maungdaw, Rakhine, mengatakan tentara memasuki desanya sekitar pukul 10.00 pagi. Mereka membakar sejumlah rumah dan harta benda di dalamnya, serta menembak mati sedikitnya 10 orang.
Saksi bernama Emmar ini mengatakan penduduk desa melarikan diri ke berbagai arah tapi sebagian besar ke daerah pegunungan terdekat. Dia mengatakan, tembakan senjata dan ledakan granat bisa terdengar, dan asap juga masih bisa terlihat pada Jumat (25/8) malam.
Sebuah kelompok militan, Arakan Rohingya Salvation Army, atau ARSA, bertanggung jawab atas serangan pada Jumat (25/8) dini hari di lebih dari 25 lokasi. Milisi mengatakan, mereka tengah membela komunitas Rohingya yang telah disiksa oleh pasukan pemerintah.
Suu Kyi menyebut serangan tersebut sebagai upaya untuk melemahkan usaha mereka dalam membangun perdamaian dan harmoni di negara bagian Rakhine.
Baca juga, Suu Kyi: Tak Ada Pembersihan Etnis Rohingya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert meminta pasukan keamanan Myanmar untuk mencegah kekerasan lebih lanjut dan membawa para pelaku ke pengadilan. Menurutnya, mereka harus menghormati peraturan undang-undang dan melindungi hak asasi manusia, serta kebebasan fundamental.
Nauert mengatakan, serangan tersebut menggarisbawahi pentingnya pemerintah untuk menerapkan rekomendasi komisi yang diketuai oleh mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Annan menerbitkan laporan yang mengatakan pemerintah harus segera bertindak untuk memperbaiki pembangunan ekonomi dan keadilan sosial di negara bagian Rakhine untuk menyelesaikan kekerasan antara Buddha dan Muslim Rohingya.
Bentrokan kali ini lebih mematikan daripada serangan yang dilakukan militan Rohingya di tiga pos perbatasan pada Oktober lalu. Serangan itu menewaskan sembilan polisi dan memicu operasi pemberantasan brutal beberapa bulan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap masyarakat Rohingya di negara bagian Rakhine.
Kelompok hak asasi manusia menuduh tentara Myanmar melakukan pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran termasuk membunuh, memperkosa, dan membakar lebih dari 1.000 rumah dan bangunan lainnya.
Pelanggaran tentara itu memicu kemarahan lebih lanjut terhadap pemerintah di kalangan Muslim Rohingya, yang dianggap sebagai imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh dan ditolak kewarganegaraannya. ARSA kemudian memanfaatkan kebencian tersebut dengan melakukan rekrutmen anggota.