REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Paus Fransiskus berencana mengunjungi Myanmar dan Bangladesh pada akhir November dan awal Desember. Kedatangan Paus dilakukan di tengah isu diskriminasi dan pembantaian Muslim Rohingya.
Vatikan, yang memastikan laporan Reuters, mengatakan pada Senin bahwa Paus akan mengunjungi Myanmar pada 27-30 November, tepatnya ke Yangon dan ibu kota, Naypyitaw. Ia akan mengunjungi ibu kota Bangladesh, Dhaka, sejak 30 November hingga 2 Desember.
Pengumuman tersebut disiarkan beberapa jam setelah penjaga perbatasan Bangladesh mendorong kembali ribuan warga Rohingya, yang melarikan diri dari kekerasan terburuk di Myanmar dalam lima tahun belakangan. Sedikitnya 104 orang terbunuh.
Pada Februari, Fransiskus mengeluarkan kritik pedas terhadap perlakuan terhadap warga Rohingya di Myanmar, dengan mengatakan bahwa mereka disiksa dan dibunuh hanya karena ingin menjaga budaya dan kepercayaan.
Sekitar 1,1 juta Rohingya tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar, namun ditolak kewarganegaraannya dan menghadapi pembatasan perjalanan yang berat.
Banyak umat Buddha di Myanmar menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh.
Pada akhir pekan dilaporkan sekitar 1.000 warga Rohingya, yang melarikan diri akibat peningkatan kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar, tertahan di sungai Naf, daerah perbatasan dengan Bangladesh.
Sementara itu, militer Myanmar mengklaim jumlah korban tewas akibat serangan gerilyawan Rohingya pada Jumat (25/8) meningkat menjadi 89, mencakup 77 gerilyawan dan 12 anggota pasukan keamanan.
Serangan tersebut menandai peningkatan tajam kemelut di Rakhine sejak Oktober, ketika serangan serupa oleh gerilyawan menewaskan sembilan polisi, mendorong militer melakukan serangan balasan besar-besaran diikuti dugaan pembunuhan, perkosaan dan pembakaran.
Pemimpin nasional Aung San Suu Kyi mengutuk serangan yang dilancarkan pada dini hari itu, ketika gerilyawan Rohingya dengan menggunakan senjata, tongkat dan bom rakitan, menyerang 30 kantor polisi dan sebuah pangkalan militer.
Sementara itu, pemerintah mengungsikan pegawai serta penduduk desa demi keselamatan mereka.
Penanganan terhadap sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya menjadi sebuah tantangan terbesar bagi Suu Kyi. Ia dituduh tidak bersuara terhadap kejadian pembantaian Muslim Rohingya, yang merupakan kaum minoritas di Myanmar, oleh serangan brutal militer setelah terjadinya penyerangan Oktober.
Operasi militer Myanmar pada tahun lalu mendapat banyak kritikan, di tengah adanya laporan dugaan tindak pembunuhan, pemerkosaan dan pembakaran. Perserikatan Bangsa-Bangsa menuduh pasukan keamanan Myanmar kemungkinan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Aung San Suu Kyi menghalangi penyelidikan PBB yang diamanatkan untuk menelusuri tuduhan tersebut. Pengamat mengkhawatirkan serangan terkini itu memicu lebih banyak tanggapan dari tentara, yang lebih garang jika dibandingkan dengan pada tahun lalu dan memicu bentrokan Muslim dengan suku Buddha Rakhine.