REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia mengecam kekerasan yang terjadi di Rakhine, Myanmar pada 25 Agustus lalu. Dalam kejadian itu, terjadi serangan kelompok bersenjata di pos polisi serta fasilitas penampungan pengungsi yang tepatnya berada di Maungtaw.
Atas kekerasan yang berlanjut, Indonesia mengharapkan Pemerintah Myanmar untuk segera mengambil langkah-langkah dalam upaya memulihkan keamanan di wilayah itu. Hal itu termasuk agar dapat memberikan perlindungan kemanusiaan secara inklusif.
Pemerintah Indonesia juga mendorong semua pihak yang terlibat agar menghentikan aksi kekerasan di Rakhine. Dalam keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri Indonesia, Selasa (29/8), semua harus berkontribusi terhadap pemulihan keamanan serta menghormati hak asasi manusia masyarakat di negara bagian Myanmar itu, termasuk kepada warga yang merupakan Muslim.
Kekerasan kembali terjadi di wilayah utara Rakhine pada 25 Agustus lalu. Sebanyak 20 pos keamanan polisi Myanmar di area perbatasan negara itu dan Bangladesh dilaporkan telah mendapat serangan pada dini hari. Menurut pasukan militer Myanmar, ada ratusan orang yang diyakini oleh mereka merupakan Rohingyamenyerang pos polisi di utara negara bagian tersebut. Beberapa membawa senjata, serta menggunakan bahan peledak buatan sendiri dalam serangan itu.
Dalam bentrokan tersebut, sebanyak 71 orang dilaporkan tewas dan seluruhnya merupakan dari pihak penyerang. Sementara, 12 petugas keamanan Myanmar juga disebut kehilangan nyawa dalam kejadian ini.
Banyak warga sipil Rohingya yang kemudian khawatir dengan pertempuran tersebut. Laporan menyebutkan pasukan militer telah memeriksa desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di Rakhine pada sekitar pukul 15.30 waktu setempat. Tentara kemudian juga mengeluarkan tembakan yang menyebabkan mereka memutuskan untuk melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Selama ini warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu diantaranya yang tewas sejak terjadi konflik yang tepatnya berlangsung di Rakhine, wilayah negara bagian tempat mereka menetap.
Kekerasan yang terjadi terhadap Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Kemudian, kasus ini kembali mencuat pada Oktober 2016, di mana menyebabkan sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine.
Laporan dari komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB membenarkan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap warga Rohingya. Pihaknya juga menyebut kemungkinan bahwa tindakan militer untuk melakukan operasi menumpas kelompok militan hanya alasan dalam melakukan kekerasan terhadap etnis tersebut secara membabi buta.
Sejumlah bukti mengenai tindakan pasukan negara dalam melakukan pembunuhan massal terhadap warga Rohingya disebut telah didapatkan. Bahkan, PBB telah mendokumentasikan pembunuhan massal serta pemerkosaan yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar selama operasi untuk menindak kelompok militan diantara warga Rohingya. Tindakan itu juga disebut dapat dikategorikan sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan, yaitu pembersihan etnis.
Isu mengenai kekerasan yang dikatakan sebagai salah satu tindakan pembersihan etnis yang dilakukan Pemerintah Myanmar kembali mencuat setelah insiden penyerangan terjadi di pos keamanan Rakhine pada 9 Oktober lalu. Pemerintah Myanmar menuding adanya kelompok Rohingya yang berada di balik serangan yang terjadi di wilayah negara bagian tersebut.
Departemen Luar Negeri Myanmar membantah dengan tegas laporan komisi HAM PBB dan mengatakan bahwa pasukan militer negara tak pernah melakukan hal itu. Namun, terdapat kelompok bersenjata yang mungkin didanai oleh pihak tertentu di balik tindakan tersebut. Demikian dengan aktivis pro demokrasi yang juga menjabat sebagai penasihat negara Aung San Suu Kyi. Ia membantah bahwa Pemerintah Myanmar telah melakukan apa yang disebut pembersihan etnis terhadap warg Rohingya.
Ia mengakui bahwa ada permusuhan yang begitu kuat di Rakhine. Bahkan terjadi pembunuhan antara sesama, yang disebut oleh Aung terjadi diantara warga Rohingya. Perempuan peraih nobel perdamaian itu menolak anggapan bahwa etnis minoritas yang rata-rata anggotanya adalah Muslim itu didiskiriminasi oleh Pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama Budhha.
Atas rumitnya situasi yang berlangsung di Rakhine, Pemerintah Indonesia menyerukan kerja sama semua pemangku kepentingan khususnya dari Pemerintah Myanmar untuk menciptakan perdamaian, keamanan, dan stabilitas di sana. Dengan demikian, hal ini berdampak untuk mendukung terjaganya stabilitas Asia Tenggara (ASEAN) dan pembangunan yang berlanjut di kawasan.
Pemerintah Indonesia saat ini akan terus melanjutkan kerj asama dengan Myanmar dalam proses rekonsiliasi, demokratisasi, dan pembangunan inklusif masalah kekerasan tersebut, termasuk upaya implementasi rekomendasi laporan PBB.