REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Dewan Rohingya Eropa (ERC), pada Senin (28/8), mengatakan bahwa ribuan Muslim Rohingya telah terbunuh dalam tiga hari terakhir di Rakhine, Myanmar. Menurutnya, hal ini jelas merupakan tanda-tanda genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar.
“Antara 2.000 hingga 3.000 Muslim Rohingya telah tewas di negara bagian Rakhine dan ribuan lainnya mengalami luka-luka,” ungkap juru bicara ERC Anita Schug, seperti dilaporkan laman Anadolu Agency, Selasa (29/8).
Schug mengatakan, pada Ahad (27/8) saja, sekitar 1.000 Muslim Rohingya terbunuh di desa Saugpara, Rathedaung. “Ini adalah genosida yang perlahan-lahan dan terus berlanjut,” ujarnya.
Ia menerangkan, lebih dari 100 ribu warga sipil telah mengungsi dari Rakhine. Sementara sekitar 2.000 lainnya masih terjebak di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Mereka terjebak karena Bangladesh mulai memperketat dan menutup perbatasan ke negaranya.
Kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Rakhine kembali merebak setelah terjadi serangan terhadap pos-pos perbatasah oleh gerilyawan Rohingya pada Jumat (25/8) lalu. 77 gerilyawan dan 10 polisi serta satu tentara Myanmar tewas dalam peristiwa tersebut.
Pascakejadian tersebut, beberapa media melaporkan bahwa pasukan keamanan Myanmar mulai melakukan tindakan represif terhadap Rohingya. Ribuan pendudukan desa Rohingya direlokasi dan rumah-rumah mereka dibakar dengan mortir dan senapan mesin.
Sebuah laporan PBB yang diterbitkan tahun lalu menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya oleh pasukan keamanan Myanmar, yang mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan terjadinya pemukulan, pemerkosaan, dan pembunuhan massal, termasuk pembunuhan terhadap bayi dan anak kecil secara brutal. Perwakilan Rohingya menyebut sekitar 400 orang tewas dalam operasi keamanan militer Myanmar yang terjadi Oktober 2016 lalu.