Rabu 30 Aug 2017 05:41 WIB

Inggris Minta DK PBB Gelar Pertemuan Bahas Rohingya

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Bocah pengungsi Rohingya melintasi rawa dalam upayanya mengungsi ke wilayah Bangladesh.
Foto: Mohammad Ponir Hossain/Reuters
Bocah pengungsi Rohingya melintasi rawa dalam upayanya mengungsi ke wilayah Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -– Inggris telah meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk menggelar pertemuan pada Rabu (30/8) untuk membahas meningkatnya kekerasan terhadap Rohingya di Myanmar. Hal tersebut diutarakan oleh Duta Besar Inggris untuk PBB Matthew Rycroft pada Selasa (29/8).

Menurut Rycroft, situasi dan pergolakan di negara bagian Rakhine memang penting untuk segera dibahas dan diselesaikan. “Perlu untuk mengatasi masalah jangka panjang di Rakhine dan mendesak pengekangan oleh semua pihak (yang terlibat),” ujar Rycroft melalui akun Twitter pribadinya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memang telah menyatakan kekhawatirannya terkait eskalasi yang terjadi di Rakhine. Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Senin (28/8), Guterres mendesak agar Myanmar memberikan akses kepada lembaga atau badan kemanusiaan untuk membantu dan menolong masyarakat Rohingya.

“Sekretaris jenderal sangat prihatin dengan laporan warga sipil yang tewas dalam operasi keamanan di negara bagian Rakhine. Sekretaris jenderal meminta agar badan-badan kemanusiaan diberi akses tak terbatas dan bebas ke masyarakat yang terkena dampak yang membutuhkan bantuan dan perlindungan,” kata kantor Guterres dalam pernyataannya yang dirilis pada Senin (28/8).

Dalam pernyataan tersebut, Guterres pun mengungkapkan, PBB siap memberikan bantuan dan dukungan yang diperlukan Myanmar serta Bangladesh. Bangladesh diketahui telah turut menampung sejumlah pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine.

“Banyak dari mereka yang melarikan diri adalah wanita dan anak-anak, beberapa di antaranya bahkan terluka. PBB siap memberikan semua dukungan yang diperlukan Myanmar dan Bangladesh dalam hal ini,” kata kantor Guterres menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement