REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris mendesak Dewan Keamanan PBB agar segera mengadakan pertemuan untuk membahas laporan tentang korban sipil massal oleh pasukan keamanan Myanmar melawan para pejuang Rohingya. "Inggris meminta pertemuan UNSC mengenai situasi di Burma besok. Perlunya penanganan jangka panjang di Rakhine dan Inggris juga mendesak pengekangan oleh semua pihak," ujar duta besar Inggris untuk PBB Matthew Rycroft seperti dilansir Aljazirah, Rabu (30/8).
Pertemuan tersebut diharapkan berlangsung pada hari Rabu. Pejabat tinggi hak asasi manusia PBB, Zeid Ra'ad al-Hussein, meminta Myanmar pada Selasa (29/8) untuk memastikan pasukan keamanan menahan diri dari penggunaan kekuatan yang tidak proporsional. Dia juga menambahkan bahwa pimpinan politik memiliki kewajiban untuk melindungi semua warga sipil tanpa diskriminasi.
Penasihat Keamanan Nasional Myanmar Thaung Tun mengatakan pada sebuah konferensi pers bahwa Myanmar diserang dan memiliki hak penuh untuk membela diri. Dia menambahkan bahwa petugas keamanan telah diinstruksikan untuk memastikan bahwa warga sipil yang tidak bersalah tidak dilukai.
Warga dan aktivis menuduh tentara menembak tanpa pandang bulu pada pria Rohingya yang tidak bersenjata, wanita dan anak-anak dan melakukan serangan pembakaran. Penjaga perbatasan Bangladesh mengatakan kepada Reuters bahwa mereka telah mengirim sekitar 550 Rohingya ke seberang sungai Naf yang memisahkan kedua negara sejak Senin lalu, meskipun ada permintaan dari Guterres agar Dhaka mengizinkan Rohingya mencari keamanan.
Patroli perbatasan juga berusaha menghalangi orang menyeberangi perbatasan. Serangan mematikan terhadap pos perbatasan di negara bagian Rakhine pecah pada hari Jumat. Akibatnya seorang tentara , 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas.
Kemudian, laporan media muncul dengan mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar menggunakan kekuatan yang tidak proporsional. Mereka mengungsikan ribuan penduduk desa Rohingya, menghancurkan rumah dengan mortir dan senapan mesin.
Kawasan ini telah menyaksikan ketegangan antara populasi Budha dan Muslim sejak kekerasan komunal meletus pada tahun 2012. Sebuah laporan PBB tahun lalu mengatakan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya oleh pasukan keamanan yang mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan. PBB menganggap Rohingya sebagai minoritas paling teraniaya di dunia.
Badan global tersebut mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan, termasuk pembunuhan bayi dan anak kecil, pemukulan dan penghilangan brutal. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 orang tewas dalam tindakan keamanan pada Oktober lalu.