Kamis 31 Aug 2017 09:35 WIB

Banjir Asia Selatan Lebih Parah dari Banjir Houston

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
 Warga korban banjir di Kampung Pokoria, sebelah timur utara Assam India, (14/8), menanti bantuan. Hujan deras telah mengakibatkan longsor dan banjir yang sudah menghilangkan nyawa di India, Nepal, dan Bangladesh.
Foto: AP
Warga korban banjir di Kampung Pokoria, sebelah timur utara Assam India, (14/8), menanti bantuan. Hujan deras telah mengakibatkan longsor dan banjir yang sudah menghilangkan nyawa di India, Nepal, dan Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, HOUSTON -- Hujan lebat yang terjadi terus-menerus, banyak menyebabkan kehancuran baik di negara maju maupun negara berkembang. Badai Harvey misalnya, telah menggusur puluhan ribu warga Houston dan menewaskan 15 orang.

Laporan menunjukkan, curah hujan yang tercatat di sana lebih dari 50 inci dalam periode 48 jam. Periode hujan semacam ini biasanya hanya terlihat setiap seribu tahun sekali. Selain di Houston, ada dua lagi banjir bandang yang terjadi bulan ini. Tiga pekan lalu, ratusan rumah dan gedung perkantoran terkubur di bawah tanah longsor di ibu kota Sierra Leone, Freetown.

Hujan monsun yang jauh lebih besar daripada biasanya juga terjadi negara-negara Asia Selatan seperti Bangladesh, India, dan Nepal. Banjir terburuk dalam satu dekade ini telah berdampak pada hampir 41 juta orang dan membunuh ribuan orang.

Jagat Patnaik, Kepala Regional Asia di ActionAid International, yang bekerja dari New Delhi, menceritakan secara langsung kerusakan yang terjadi saat banjir melanda Asia Selatan. Ia bekerja untuk memastikan uang tunai tersedia untuk membeli barang-barang penting dan pekerja bantuan lokal mengirimkan makanan darurat.

Menurutnya, hujan lebat yang membunuh ribuan orang dan membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal di India, Bangladesh, dan Nepal, tidak banyak dilaporkan oleh media Barat. Mereka lebih banyak terfokus pada pelaporan bencana banjir di Freetown dan Houston.

Asia Selatan, seperti Texas, memiliki siklus cuaca tahunan yang telah mereka rencanakan untuk dihadapi. Namun, tahun ini sistem cuaca tidak bergerak seperti biasanya. Seolah keran dihidupkan dan dibiarkan mengeluarkan air di satu area.

Lebih dari sepertiga Bangladesh dan Nepal, serta daerah-daerah besar di India telah diterjang banjir. Situasinya diperkirakan akan semakin memburuk saat musim hujan terus berlanjut sampai akhir September.

"Dalam istilah media, mungkin persepsi tentang banjir monsun adalah ''hanya'' sedikit lebih buruk dari biasanya. Sehingga bagi mereka hal ini tidak mengejutkan," ujar Patnaik, dikutip The Independent.

Jutaan orang akan terus terpengaruh oleh perubahan iklim, baik di negara maju dan berkembang. Namun tidak semua orang mampu membangun kembali rumah mereka setelah menghadapi bencana ini. Situasi paling memprihatinkan di Asia Selatan dihadapi perempuan dan anak perempuan. Kewajiban sosial di dunia ini seringkali membatasi akses perempuan ke ruang publik. "Yang berarti jutaan perempuan dan anak perempuan yang terkena dampak tidak dapat sepenuhnya terlibat dalam mendapatkan bantuan yang kami berikan," kata dia.

Ia mengatakan ada banyak cerita yang lebih rumit untuk diceritakan, tapi ia sangat membutuhkan media untuk memaksa umat manusia agar memberikan bantuan. Baginya ini bukan hanya musim hujan yang mengejutkan, melainkan bencana yang membuat kehidupan perempuan dan anak perempuan menjadi neraka.

Keterlibatan media, kata dia, akan menunjukkan bahwa apa yang sedang terjadi di Barat juga terjadi di Timur pada waktu yang sama. Jika ada satu hal yang menyatukan dunia, maka itu adalah perubahan iklim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement