REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tragedi kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar memancing netizen atau warganet membuat petisi yang ditujukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Presiden RI Joko Widodo. Warganet bernama Budi Akbar memelopori petisi melalui laman change.org untuk mencabut novel perdamaian Aung San Suu Kyi menyusul konflik kemanusiaan ini.
Petisi ini sudah mendapat dukungan 24.022 sampai pada pukul 13.45 WIB, Jumat (1/9). Hanya butuh 978 lagi untuk mencapai angka 25.000. "Saya ajak Anda semua untuk melepaskan sebentar pikiran kita dari kemelut sosial-politik domestik Indonesia yang makin semrawut ini," tulis Budi dalam laman Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi" href="https://www.change.org/p/perserikatan-bangsa-bangsa-cabut-nobel-perdamaian-aung-san-su-kyi" target="_blank">change.org.
Dalam petisi itu, Budi juga mengunggah tulisan berjudul “Myanmar: Negara Fasis yang Bertekad Membasmi Muslim Rohingya" yang memuat alasan bagi PBB untuk mencabut Nobel Perdamaian yang diraih Su Kyi pada 1991. Alasannya yakni dulu, pemimpin gerakan demokrasi, Aung San Suu Kyi, pernah berjanji kalau berkuasa, dia akan menghentikan pengejaran terhadap warga Rohingya.
“Ternyata, begitu dia berkuasa setelah partainya menang mutlak dalam pemilihan umum 2015, Suu Kyi tidak menghiraukan ethnic cleansing (pembersihan etnis) yang dilakukan oleh militer, polisi, dan kaum ekstremis dan teroris Budha di negara itu," kata Budi, dalam tulisannya.
Bahkan, Suu Kyi, yang dikenal selama ini sebagai pejuang demokrasi dan hak asasi manusia, menolak untuk menyebut penindasan dan pengejaran serta perlakuan sadis lainnya terhadap warga Rohingya sebagai pembersihan etnis. Dia mengatakan istilah itu terlalu keras.
Padahal, fakta yang tampak di lapangan adalah tindakan yang ingin membasmi kaum Rohinngya. Suu Kui juga justru membela militer ketika mesin perang Myanmar ini diarahkan ke warga Rohingya yang tak bersenjata.
“Pemimpin yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian ini mengambil sikap tutup mata terhadap tindakan militernya yang menembaki warga Rohingya yang sedang melarikan diri dari kejaran tentara. Yang ditembaki oleh militer itu adalah pengungsi wanita dan anak-anak,” kata Budi.
Menurut Budi, Suu Kyi memiliki kekuasaan besar. Partainya, Liga Nasional Demokrasi (NLD), menduduki 65 persen kursi parlemen.
Meskipun menurut konstitusi negara itu dia tidak bisa menjadi presiden, tetapi Suu Kyi punya kewenangan memilih presiden. Artinya, dia merupakan pemegang kekuasaan de-facto.
Selain kepada PBB, Budi mengalamatkan petisi ini kepada Presiden Joko Widodo. Alasannya, secara diplomatik, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia, Pemerintah Indonesia melalui lembaga-lembaga terkait mesti ambil bagian dalam peristiwa teror berdarah dunia ini. Yakni menekan Aung San Suu Kyi.
"Pemerintah Indonesia, melalui presiden mesti usir dubes Myanmar dari Indonesia dan putuskan hubungan diplomatik sebagai bentuk kecaman dan protes," tulis Budi.
Budi juga meminta publik untuk mengarahkan perhatian sejenak ke Muslim Rohingya yang sejak bertahun-tahun menghadapi persekusi ala fasisme oleh negara dan geng-geng ekstremis Myanmar. Beberapa hari belakangan, dia menulis, operasi penindasan kejam oleh tentara dan perangkat keamanan Myanmar lainnya mengakibatkan banyak korban tewas.
Ini bukan satu-satunya petisi yang mendesak penghargaan Nobel Perdamaian Suu Kyi dicabut. Warganet bernama Etin Rosdiana juga memulai petisi “Cabut Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, karena telah membiarkan pembunuhan Rohingya”. Petisi ini dialamatkan ke PBB.
Tahun lalu, aktivis Emerson Yuntho juga memulai petisi: “Cabut Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi”. Petisi itu dikirim ke Komite Nobel Norwegia 2016. Petisi tersebut sudah mendapatkan 209.320 pendukung dan masih memperlukan 90.680 pendukung untuk mencapai 300 ribu.