REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga kapal yang membawa Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan di Myanmar tenggelam di Bangladesh. Akibatnya 26 orang dinyatakan tewas.
Mayat 15 wanita dan 11 anak-anak ditemukan di Cox's Bazar setelah kapal-kapal tersebut tenggelam di Sungai Naf pada hari Rabu, Komandan penjaga perbatasan Bangladesh Letnan Kolonel S.M. Ariful Islam mengatakan kekerasan di Rakhine mendorong lebih banyak pengungsi Rohingya ke Bangladesh. "Saat ini masih belum diketahui apakah ada korban hilang atau tidak," ujar S.M. Ariful Islam seperti dilansir Aljazirah, Jumat (1/9).
Pejabat tertinggi di Cox's Bazar, Mohammad Ali Hossain, mengatakan mayat korban kapal tenggelam ini akan dikubur karena tidak ada pihak yang mengklaim jenazah tersebut. Pejabat di Bangladesh mengatakan semakin banyak orang Rohingya mencoba menyeberangi sungai Naf dengan menggunakan kapal-kapal yang tidak layak jalan.
Seorang korban selamat mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa kapal kecil dan penuh sesak yang dia tumpangi telah dihantam gelombang besar. "Tidak ada yang tahu cara menavigasi perairan laut. Saat ombak besar memiringkan perahu, kami panik," kata Shah Karim.
Warga dan aktivis menuduh tentara menembak tanpa pandang bulu pada pria Rohingya yang tidak bersenjata, wanita dan anak-anak dan melakukan serangan pembakaran. Namun, pihak berwenang di Myanmar mengatakan bahwa hampir 100 orang telah terbunuh sejak Jumat ketika orang-orang bersenjata, yang dilaporkan berasal dari Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), meluncurkan serangan pra-fajar di pos terdepan polisi di wilayah yang bergolak.
Pihak berwenang Myanmar mengatakan teroris ekstremis Rohingya telah melakukan baku tembak saat berperang dengan pasukan pemerintah. Menurut PBB, Sekitar 27.400 Muslim Rohingya telah menyeberang ke Bangladesh dari Myanmar sejak Jumat pekan lalu.
Kekerasan tersebut terjadi di tengah laporan para warga Budha yang membakar desa Rohingya di Myanmar. Organisasi Internasional untuk Migrasi mengatakan ratusan orang telah terdampar di perbatasan negara-negara saat mereka melakukan pelarian.
Citra satelit yang dianalisis oleh Human Rights Watch yang berbasis di AS menunjukkan bahwa banyak rumah di negara bagian Rakhine utara terbakar. Sebagian besar dari satu juta Muslim Rohingya yang tinggal di Myanmar tinggal di negara bagian Rakhine utara.
Mereka menghadapi penganiayaan berat di negara mayoritas Buddhis, yang menolak untuk mengakui mereka sebagai minoritas etnis asli yang sah, yang menyebabkan etnis Rohingya hidup tanpa kewarganegaraan dan hak-hak dasar. Ketegangan yang berlangsung lama antara Muslim Rohingya dan umat Buddha meletus dalam kerusuhan berdarah pada tahun 2012.