REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres sangat prihatin dengan tindak kekerasan pasukan Myanmar yang telah menewaskan ratusan umat Muslim Rohingya di Myanmar. Apalagi, kekerasan tersebut merupakan yang terburuk selama beberapa tahun terakhir ini.
"Sekretaris Jenderal sangat prihatin dengan laporan ekses-ekses selama operasi keamanan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar di Negara Bagian Rakhine dan mendesak menahan diri dan tenang untuk menghindari bencana kemanusiaan," ujar Guterres seperti dikutip dari Aljazirah, Sabtu (2/8).
Kekerasan di Rakhine telah menyebabkan puluhan ribu orang Rohingya melarikan diri dengan melintasi perbatasan ke Bangladesh, sementara puluhan orang yang putus asa telah tenggelam saat berusaha menyeberangi sungai perbatasan dengan menggunakan kapal darurat.
Laporan pembantaian dan pembakaran desa secara sistematis telah menimbulkan kekhawatiran dan kekerasan di Rakhine semakin tidak terkendali. Guterres mengatakan bahwa krisis tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memberikan keamanan dan memberikan bantuan bagi mereka yang membutuhkan.
Guterres juga memberikan apresiasi atas upaya pihak berwenang Bangladesh untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang melintasi perbatasan tersebut. Pada Rabu (30/8) kemarin, Dewan Keamanan PBB telah menggelar pertemuan tertutup untuk membahas kekerasan tersebut. Namun tidak ada pernyataan resmi mengenai krisis yang menyita perhatian dunia itu.
Sementara, menteri luar negeri Turki, Mevlut Cavusoglu mendesak Bangladesh untuk membuka pintunya bagi umat Islam yang melarikan diri dari Rohingya. Menurut dia, pemerintahan Ankara, sebagai Ibu Kota Turki akan membayar biaya kebutuhan umat Islam.
"Kami juga memobilisasi Organisasi Kerjasama Islam," katanya di Provinsi Antalya seperti dilaporkan badan yang dikelola Turki, Anadolu.
"Kami akan mengadakan pertemuan puncak mengenai Arakan (negara bagian Rakhine) tahun ini. Kita perlu menemukan solusi yang menentukan untuk masalah ini," Cavusoglu menambahkan.