REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengungkapkan Mahkamah Internasional harus menginvestigasi kritis pembantaian sistematis/genosida dan pemerkosaan terhadap muslim Rohingya. Ini sesuai dugaan yang disampaikan oleh PBB beberapa waktu lalu.
"Krisis ini aib bagi para tokoh dan negara-negara ASEAN, saya minta seret semua pembantai Muslim Rohingya, Biksu maupun militer ke Mahkamah Internasional!, hentikan pembunuhan dan pembantaian keji itu," kata Kharis dalam keterangannya, Jumat (1/9).
Beberapa hari ini tensi di Myamnar meningkat. Ribuan warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Pertempuran terbaru militer Myanmar dengan warga menewaskan ratusan korban jiwa.
Namun, dia mengatakan, respons sejumlah negara, baik negara-negara yang tergabung di ASEAN maupun negara mayoritas Muslim, atas persoalan ini sangat memprihatinkan. Dia menilai negara-negara di Asia Tenggara dan mayoritas Muslim justru seperti sedang melakukan ‘pingpong maritim’ dengan tujuan mencegah para pengungsi mendarat dan didorong ke negara lain.
Kharis pun mengapresiasi para nelayan Aceh yang kerap memandu pengungsi ke pantai. Begitupula lembaga-lembaga kemanusiaan yang merespon peristiwa ini dengan cepat. “Sebagian bahkan sudah terlibat dalam membantu pengungsi Rohingya jauh sebelum peristiwa terakhir ini,” kata dia.
Para ‘manusia perahu’ Rohingya ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Gelombang eksodus yang terbaru dimulai sejak Mei 2012, ketika konflik di Rakhine atau Arakan meletus sehingga menjadikan kelompok minoritas Rohingya sebagai sasaran kekerasan.
Menurut laporan dari Human Rights Watch pada 2012, dia mengutip, aparat pemerintah Myanmar yang seharusnya memulihkan keadaan justru ikut terlibat dalam konflik tersebut. Dia menambahkan persekusi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama.
Pada 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar. Pada 1970-an, pemerintah setempat melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya.
Pada 1982, rezim militer mengeluarkan orang-orang Rohingya dari kategori warga negara. Sejak saat itu, represi yang dilakukan oleh negara semakin keras.
“Hanya dengan melihat keberanian mereka mengambil risiko untuk terombang ambing tanpa nasib yang jelas di laut, kita seharusnya dapat memahami betapa mengerikannya penindasan yang mereka alami di Myanmar,” kata dia.
Gelombang kekerasan terhadap orang-orang Rohingya yang terakhir ini telah memperlihatkan keterlibatan komunitas Buddha di Rakhine. Konflik yang sebelum ini bersifat ‘vertikal’ atau antara negara/rezim militer versus masyarakat berubah menjadi konflik 'horizontal’ atau antara masyarakat Muslim Rohingya versus masyarakat Buddha Rakhine.
Kharis pun mempertanyakan alasan Aung San Suu Kyi, sang peraih Nobel Perdamaian, yang memilih diam atas persoalan ini. “Apakah beliau takut kehilangan banyak suara dalam Pemilihan Umum atau sesungguhnya kelompok “pro-demokrasi” Myanmar pun punya kecenderungan rasis?” ujar dia.
Karena itu, anggota Fraksi PKS DPR RI ini mendorong Indonesia untuk mengetuk hati negara-negara dunia. “Karena telah terbuka krisis memperlihatkan rombongan manusia yang kurus kering dan penuh luka berdempetan di kapal-kapal yang dapat karam sewaktu-waktu. Rombongan pengungsi Rohingya tidak boleh diidentifikasi sebagai beban dan ancaman,” kata dia.
Dia menuturkan Indonesia juga perlu mendorong gagasan tentang pendirian sebuah institusi atau mekanisme pendanaan global untuk pengungsi Rohingya. Namun, dia mengimbau, hal ini harus dibarengi dengan upaya untuk menyelesaikan akar dari krisis Rohingya ini, yaitu eksklusi dan diskriminasi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar.
Dalam jangka menengah dan panjang, dia mengatakan, negara-negara ASEAN harus memulai upaya diplomasi untuk mengakhiri persekusi terhadap komunitas Rohingya di Myanmar. Dia menambahkan, ada upaya diplomatis untuk membuat pemerintah Myanmar merasa bahwa keuntungan melanjutkan persekusi jauh lebih kecil dari biaya yang harus ditanggung oleh pemerintahnya jika terus melanjutkannya.
Tentu saja, hal ini merupakan ujian bagi ASEAN yang terkenal dengan norma non-interference-nya. “Setop segera kejahatan kemanusiaan, apa gunanya ASEAN bersatu kalau tidak mampu melindungi manusia-manusia yang ada di dalamnya?" ujar dia.