Sabtu 02 Sep 2017 12:57 WIB

PBB Desak Pengekangan Pasukan Myanmar di Rakhine

Rep: Puti Almas/ Red: Agus Yulianto
Sekjen PBB Antonio Guterres.
Foto: EPA
Sekjen PBB Antonio Guterres.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres memperingatkan konflik kemanusiaan yang terjadi di Myanmar sangat berbahaya. Ia mendesak, agar pengepungan yang dilakukan oleh pasukan militer di negara itu terhadap warga Rohingya dihentikan segera. 

"Kami sangat prihatin dengan operasi keamanan yang dilaporkan dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar di Rakhine dan mendesak agar hal itu dihentikan seluruhnya demi ketenangan dan menghindari bencana kemanusiaan lebih besar," ujar pernyataan dari kantor Sekretaris Jenderal Antonio Guterres, dilansir Aljazeera, Sabtu (2/9).

Kekerasan di Myanmar, tepatnya di Rakhine kembali meletus pada 25 Agustus lalu. Pada awalnya ada 20 pos keamanan polisi di area perbatasan negara itu dan Bangladesh dilaporkan mendapat serangan pada dini hari waktu setempat.

Menurut pasukan militer Myanmar, ada ratusan orang yang diyakini oleh mereka berasal dari kelompok militan Rohingya melakukan serangan tersebut. Beberapa membawa senjata, serta menggunakan bahan peledak buatan sendiri dalam serangan itu. 

Dalam bentrokan tersebut, sebanyak 71 orang dilaporkan tewas dan seluruhnya merupakan dari pihak penyerang. Sementara, 12 petugas keamanan Myanmar juga disebut kehilangan nyawa dalam kejadian ini.

Banyak warga sipil Rohingya yang kemudian khawatir dengan pertempuran yang terus meningkat. Laporan menyebutkan pasukan militer telah memeriksa desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di Rakhine pada sekitar pukul 15.30 waktu setempat. Tentara kemudian juga mengeluarkan tembakan yang menyebabkan mereka memutuskan untuk melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.

Kemudian, situasi semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di Rakhine. Kelompok aktivis Human Rights Watch mengatakan, banyak bangunan dan area lingkungan warga, khususnya di Maungdaw, wilayah utara negara bagian itu yang terlihat terbakar dan ditunjukkan melalui media sosial. 

Setidaknya ada 10 area yang saat itu terlihat penuh dengan kobaran api. Diyakini pasukan militer dengan sengaja melakukan tindakan keras sebagai upaya menekan kelompok militan yang diduga berasal dari etnis Rohingya. 

Saat ini, ada puluhan ribu warga Rohingya yang dilaporkan melarikan diri dengan melintasi perbatasan darat ke Bangladesh. Sementara puluhan lainnya mencoba menyebrangi sungai di wilayah perbatasan menggunakan kapal darurat. Namun, beberapa diantaranya tenggelam. 

Selama ini, warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu di antaranya yang tewas sejak terjadi konflik di Rakhine, tempat kebanyakan etnis tersebut menetap.

Warga Rohingya juga tidak mendapat hak kewargangeraan di Myanmar. Mereka dianggap oleh pemerintah negara itu sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh, meski secara sejarah etnis itu telah berada di Rakhine sejak lama dan dapat diakui sebagai penduduk resmi wilayah tersebut. 

Kekerasan yang terjadi terhadap Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Kemudian yang terbaru pada Oktober 2016, di mana menyebabkan sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine. 

Guterres juga memberikan pernyataan bahwa Pemerintah Myanmar bertanggung jawab penuh memberi keamanan bagi seluruh warga di negara itu. Ia juga mendesak agar badan bantuan dapat menjangkau Rakhine, sebagai upaya meredakan konflik dan memberi pertolongan bagi mereka yang menjadi korban kekerasan.

"Sudah seharusnya Pemerintah Myanmar bertanggung jawab penuh memberi keamanan dan mengizinkan badan bantuan internasional menjangkau wilayah konflik bagi mereka yang membutuhkan," kata Guterres.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement