REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pemerintah Turki mendesak Bangladesh untuk membuka pintu perbatasan negara itu dengan Myanmar. Langkah ini diperlukan untuk membantu warga Rohingya, yang saat ini berada dalam ancaman kekerasan dan mencoba melarikan diri ke sana.
"Kami siap untuk membayar biaya agar Pemerintah Bangladesh dapat membuka pintu perbatasan yang memungkinkan warga Rohingya datang mencari perlindungan dari kekerasan di Myanmar," ujar Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, dilansir Aljazeera, Sabtu (2/9).
Kekerasan di Myanmar, tepatnya di Rakhine kembali meletus pada 25 Agustus lalu. Pada awalnya ada 20 pos keamanan polisi di area perbatasan negara itu dan Bangladesh dilaporkan mendapat serangan pada dini hari waktu setempat.
Menurut pasukan militer Myanmar, ada ratusan orang yang diyakini oleh mereka berasal dari kelompok militan Rohingya melakukan serangan tersebut. Beberapa membawa senjata, serta menggunakan bahan peledak buatan sendiri dalam serangan itu.
Pertempuran antara pasukan keamanan Myanmar dan penyerang kemudian terus berlanjut. Tak hanya itu, tentara negara melakukan operasi di desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di sejumlah desa dan wilayah Rakhine.
Situasi semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di negara bagian Myanmar tersebut. Kelompok aktivis Human Rights Watch mengatakan banyak bangunan dan area lingkungan warga, khususnya di Maungdaw, wilayah utara negara bagian itu yang terlihat terbakar dan ditunjukkan melalui media sosial.
Setidaknya ada 10 area yang saat itu terlihat penuh dengan kobaran api. Diyakini pasukan militer dengan sengaja melakukan tindakan keras sebagai upaya menekan kelompok militan yang diduga berasal dari etnis Rohingya.
Hingga saat ini, 400 orang, yang kebanyakan berasal dari warga Rohingya tewas dalam kekerasan di Rakhine. Sementara, puluhan ribu penduduk etnis tersebut lainnya dilaporkan mencoba melarikan diri dengan melintasi perbatasan darat ke Bangladesh.
Selain itu juga terdapat puluhan warga Rohingya lainnya menyebrangi sungai di wilayah perbatasan menggunakan kapal darurat. Namun, beberapa diantaranya tenggelam.
Kekerasan yang terjadi terhadap Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Kemudian pada Oktober 2016, konflik yang melibatkan kekerasan terhadap warga Rohingya kembali terjadi dan menyebabkan sekitar 70 ribu penduduk etnis itu melarikan diri ke Bangladesh. Mereka seluruhnya diyakini menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine yang terus berlanjut.