Ahad 03 Sep 2017 17:10 WIB

Mengenal Aung San Suu Kyi, Pemimpin de Facto Myanmar

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nur Aini
Tokoh opisisi Myanmar Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu.
Foto: Reuters
Tokoh opisisi Myanmar Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID, MYANMAR -- Wilayah Rakhine, Myanmar, tengah bergejolak beberapa pekan terakhir. Kelompok militer Myanmar tak henti-hentinya membumihanguskan para Muslim Rohingya dari wilayah negaranya. Aung San Suu Kyi yang disebut-sebut sebagai pemimpin de facto negara, pun menjadi orang yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan tersebut.

Namun, siapakah Suu Kyi itu? Laporan The Guardian pada Desember 2016 lalu menyatakan Suu Kyi sempat menjadi tahanan rumah selama dua dekade. Kemudian ia pada 1991 silam dianugerahi Nobel Perdamaian. 

Suu Kyi memenangkan pemilihan umum melalui partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), pada November 2015. Kemenangan partai oposisi ini sekaligus mengakhiri pemerintahan junta selama puluhan tahun. 

Kemenangan itu tidak menjadikan Suu Kyi sebagai presiden Myanmar tapi adalah sahabatnya, Htin Kyaw. Ia dilantik pada 15 Maret 2016. Suu Kyi tidak bisa menjadi presiden meski partainya menang pemilu lantaran konstitusi Myanmar melarang posisi presiden diisi oleh orang yang menikah dengan warga negara asing.

Setelah partainya menang, Suu Kyi mendapat posisi sebagai Menteri Luar Negeri dan Penasihat Negara. Kendati begitu, Suu Kyi tetap memegang kendali negara dan disebut-sebut sebagai pemimpin de facto.

Di sisi lain, angkatan bersenjata Myanmar, Tatmadaw, tetap mempunyai kekuatan yang besar. Di bawah konstitusi yang dirancang junta militer, militer menguasai tiga kementerian, yakni kementerian dalam negeri, pertahanan, dan perbatasan.

Pada 2016 lalu, kelompok yang terdiri dari 23 aktifis, termasuk, Uskup Agung Desmond Tutu dan Malala Yousafzai, mengirimkan surat terbuka kepada dewan keamanan PBB. "Akses untuk organisasi bantuan kemanusiaan hampir sepenuhnya ditolak, menciptakan krisis kemanusiaan yang mengerikan di daerah yang sudah sangat miskin," tulis surat tersebut.

Surat tersebut ditandatangani oleh mantan pemimpin politik dan bisnis serta juru kampanye, Yousafzai, pemenang termuda Penghargaan Nobel Perdamaian. Surat itu juga memperingatkan bahwa serangan tentara telah membunuh ratusan orang, termasuk anak-anak, adanya perempuan yang diperkosa, rumah-rumah dibakar, dan banyak warga sipil yamg ditangkap secara sewenang-wenang.

"Kalau kita gagal melakukan tindakan, orang-orang di sana akan mati kelaparan jika tidak dibunuh dengan peluru," bunyi penggalan isi surat tersebut.

Laporan The Guardian tersebut menyatakan Rohingya adalah minoritas dari sekitar satu juta orang yang, meski tinggal di negara ini dari generasi ke generasi, diperlakukan sebagai imigran ilegal dan tak bisa mendapat kewarganegaraan. Mereka telah dianiaya bertahun-tahun oleh pemerintah dan umat Buddha nasionalis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement