REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penghukuman kolektif yang dilakukan oleh militer Myanmar dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Hasil temuan dari penyelidikan Amnesty International Indonesia terkait kejahatan tersebut diharapkan dapat meredam kekerasan terhadap Rohingya yang terjadi di Rakhine, Myanmar.
"Mereka memang beralasan mengejar militan yang melakukan kekerasan. Tapi, yang terjadi bukan hanya satu atau dua kelompok militan, tetapi seluruh masyarakat minoritas Muslim Rohingnya yang jadi sasaran. Itu yang kami sebut penghukuman kolektif," ungkap Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid kepada Republika di kantornya, Ahad (3/9).
Ia juga menyebutkan, pihaknya telah mendapatkan indikasi-indikasi kuat terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Usman menyebutkan ada beberapa bentuk kejahatan terhadap kejadian di sana. "Dari bentuk-bentuk pembunuhan, deportasi, pemindahan paksa, penyerangan secara random, penyiksaan, pemerkosaan, persekusi, sampai penghilangan orang secara paksa," tutur Usman.
Menurutnya, indikasi-indikasi itulah yang perlu diselidiki lebih lanjut oleh Tim Pencari Fakta Dewan HAM PBB. Di mana semua orang Rohingnya itu dianggap militan dengan narasi yang selama ini mendiskriminasikan mereka.
"Mereka menganggap Rohingya bukan bagian dari warga negara. Mengeluarkan Rohingya dari status kewarganegaraan tanpa memandang keberadaan mereka yang sudah satu generasi di Myanmar, dan lainnya," kata Usman.
Terkait apakah adanya kepentingan sumber daya alam yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM itu, Usman mengaku belum melakukan penyelidikan sejauh itu. Tetapi, jika hasil penyelidikan yang pihaknya sudah lakukan itu ditindak lanjuti, ia berharap kekerasan di Rakhine dapat teredam dan tidak terulang.
"Kami belum melakukan penyelidikan sejauh itu. Tapi, kalau penyelidikan kami ditindaklanjuti oleh pemerintah Myanmar, PBB, ASEAN, dan pemerintah Indonesia, seharusnya bisa meredam kekerasan seperti itu dapat terulang," sambung dia.