REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Hampir 90 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh sejak kekerasan meletus di Myanmar pada 25 Agustus lalu. Kendati telah melarikan diri, nasib mereka di Bangladesh tak menjadi lebih baik.
Perkiraan terbaru, berdasarkan perhitungan pekerja bantuan PBB di distrik perbatasan Cox''s Bazar di Bangladesh, setidaknya terdapat sekitar 150 ribu pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar. Jumlah tersebut merupakan kalkulasi dari gelombang pengungsi pada Oktober tahun lalu hingga saat ini.
Gelombang pengungsi Rohingya yang baru-baru ini terjadi menyebabkan sebuah kamp tidak resmi di Balu Khali, Bangladesh, menjamur. Mereka mendirikan tempat bernaung seadanya, yakni dengan menancapkan batang-batang bambu dan memanfaatkan terpal sebagai atapnya. Ketika hujan melanda, gubuk reyot itupun goyah dihempas angin.
Kendati demikian, tidak semua pengungsi dapat mendirikan gubuk-gubuk. Mohammed Hussein, misalnya, pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh empat hari lalu. Ia mengaku masih mencari tempat tinggal setelah tiba di zona perbatasan Bangladesh. "Kami mencoba mendirikan tempat bernanung di sini, tapi tidak ada cukup ruang," ungkap pria berusia 25 tahun tersebut.
Hussein mengakui kondisi pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri dari Myanmar memang masih terabaikan. "Tidak ada organisasi non-pemerintah yang datang ke sini. Beberapa wanita bahkan melahirkan di pinggir jalan. Anak-anak yang sakit tidak diberi obat," katanya menerangkan.
Ia dan warga Rohingya lainnya mengharapkan bantuan secepatnya. Sebab saat ini tidak mungkin mereka harus kembali ke Rakhine dan menghadapi lagi tindakan brutal militer Myanmar.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi telah bertolak ke Myanmar pada Ahad (3/9). Di sana, ia dijadwalkan akan menggelar pertemuan dengan Aung San Suu Kyi dan pejabat Myanmar lainnya pada Senin (4/9). Dalam kunjungannya, Retno berupaya mendesak Myanmar untuk menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap Muslim Rohingya.