Senin 04 Sep 2017 17:06 WIB

Pengamat: Pemerintah Tegas Soal Laut Natuna Utara

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Koarmabar TNI AL melakukan penangkapan terhadap Kapal Cina Han Tan Cou 19038 di Laut Natuna, Kepulauan Riau pada Jumat (17/6).
Foto: Kadispen TNI AL
Koarmabar TNI AL melakukan penangkapan terhadap Kapal Cina Han Tan Cou 19038 di Laut Natuna, Kepulauan Riau pada Jumat (17/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Teguh Santosa menilai pemerintah Indonesia tidak akan gentar menghadapi tekanan Republik Rakyat China terkait dengan penamaan wilayah laut Indonesia di perairan utara Natuna. Dia yakin Presiden Joko Widodo tidak akan gentar menghadapi tekanan China terkait perubahan nama itu. 

Dia menuturkan, bagi Jokowi, kemaritiman adalah isu sentral dan materi utama pembangunan nasional. Penamaan Laut Natuna Utara membangkitkan semangat dan menumbuhkan kepercayaan bahwa pemerintah memiliki strategi yang solid untuk menjaga kedaulatan dan di saat mengembangkan semua potensi kemaritiman. 

“Saya yakin Pak Jokowi tidak akan gentar menghadapi tekanan China untuk urusan ini," dia melalui siaran pers yang diterima dari Republika, Senin (4/9). 

Teguh menuturkan Pada 25 Agustus 2017, Kementerian Luar Negeri RRC mengirimkan sepucuk surat ke Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Secara umum, dia mengatakan, di dalam surat itu, China meminta Indonesia membatalkan penamaan Laut Natuna Utara yang diumumkan pada pertengahan Juli lalu. 

Teguh menerangkan, menurut China, manuver Indonesia bisa memperumit penyelesaian sengketa di perairan itu, selain menimbulkan dampak yang tidak baik bagi prospek perdamaian dan stabilitas kawasan. “Wajar saja China mengajukan protes karena kehilangan privilege atau keistimewaan yang mereka dapat selama ini dari penggunaan nama Laut China Selatan," katanya kepada media.

Menurut dia, istilah Laut China Selatan yang selama ini digunakan hingga wilayah perairan utara Indonesia, telah menguntungkan China dalam banyak hal. Ia menjelaskan tanpa disadari, lahir semacam anggapan yang meluas di tengah masyarakat internasional bahwa RRC memiliki pengaruh dan mendominasi, bahkan berdaulat atas semua wilayah perairan di kawasan tersebut. 

"Padahal, wilayah perairan China hanya sampai pada batas-batas laut teritorinya yang diakui hukum internasional. Di sisi lain Indonesia juga memiliki wilayah laut teritori sendiri, dan karenanya punya hak untuk memberikan nama pada wilayah laut Indonesia," ujar Teguh.

Karena itu, dia mengatakan penggunaan nama Laut Natuna Utara diperlukan untuk kepastian hukum internasional, dan untuk jangka panjang dibutuhkan demi menjaga keamanan dan stabilitas kawasan.  "Saya sudah pernah sampaikan, keputusan Indonesia ini adalah ekspresi dari komitmen kuat Indonesia membina keamanan dan stabilitas kawasan. Wajar apabila RRC protes. Tapi ini protes yang lucu," kata dia.

Ia menegaskan bahwa penggunaan nama Laut Natuna Utara itu penegasan akan kedaulatan negara dan di saat bersamaan memperlihatkan betapa Indonesia menghormati kedaulatan bangsa lain.  Pengajar studi konflik dan kawasan Asia Timur itu, mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo dan Kemenko Kemaritiman, sejak zaman Rizal Ramli hingga Luhut B. Panjaitan, telah mengkaji dengan serius perubahan nama tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement