REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Krisis yang dialami etnis Rohingya di Myanmar telah menyebar menjadi masalah kemanusiaan yang berpotensi pada perpecahan bangsa-bangsa, khususnya di Asia Tenggara. Hal ini patut diwaspadai, karena kondisi ini bisa dimanfaatkan kelompok radikal untuk lebih memperkeruh suasana. Apalagi krisis Rohingya ini dibumbui isu agama.
“Populisme agama akan mendapat tempat kokoh di tengah krisis kemanusiaan semacam ini, apalagi aktor yang terlibat dalam krisis, berbeda secara diameteral dalam soal agama dan etnis. Diskriminasi ganda dan dugaan genosida atas dasar agama dan etnis yang dialami oleh Rohingya sangat mungkin menghimpun solidaritas dan dukungan publik,” ujar Ketua Setara Institute Hendardi dalam siaran persnya, Senin (4/9).
Karena itu, Hendardi mendukung langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan mengirim Menlu Retno Marsudi ke Myanmar untuk melakukan lobi perdamaian. Namun selain itu, pemerintah juga harus mengantisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang mengkapitalisasi isu ini untuk kepentingan politik dalam negeri. "Jika pemerintah tidak mengambil langkah politik, potensi ketegangan sosial di dalam negeri juga cukup tinggi," katanya.
Menurutnya, Krisis Rohingya adalah tragedi kemanusiaan yang secara etis dan politik menuntut dunia internasional untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Negara-negara ASEAN tidak bisa berlindung dibalik prinsip menghormati kedaulatan Myanmar atas tragedi ini. Pembiaran dunia internasional atas Rohingya diduga kuat memiliki motivasi politik ekonomi kawasan, sehingga Aun San Su Kyi terus memperoleh proteksi politik, karena belum ada rezim pengganti yang potensial dan akomodatif menjaga kepentingan sejumlah negara-negara yang memiliki kepentingan kuat.
Meski demikian, krisis Rohingya lebih merupakan krisis yang lebih besar didorong oleh dinamika politik dalam negeri Myanmar. Dengan demikian, potensi gangguan keamanan terhadap kawasan tidak akan menyebar sebagaimana penyebaran kelompok ideologis ISIS. Namun antisipasi tetap harus dilakukan karena biasanya kelompok seperti ISIS menjadikan wilayah konflik sebagai sasaran mereka untuk mengumbar radikalisme-nya.
"Yang pasti akan semakin banyak asylum seeker atau pencari suaka ke Indonesia dan sejumlah kawasan lain. Para pencari suaka adalah problem human security dan kewajiban negara-negara untuk mencari resolusi terbaik bagi Rohingya,” ungkap Hendardi.
Hendardi mengindikasikan keterlibatan tentara Myanmar dalam krisis Rohingya. Itu menjadi bukti bahwa kekerasan itu dipelopori oleh negara. Karena itu, selain intervensi kemanusiaan, advokasi Myanmar juga sangat dimungkinkan karena genosida merupakan salah satu kejahatan internasional yang termasuk kompetensi absolut International Criminal Court (ICC) dengan yurisdiksi internasional. “Atas nama kemanusiaan, pemerintah Indonesia harus menjadi pelopor penanganan Rohingya,” kata Hendardi.