Senin 04 Sep 2017 21:09 WIB

Pengamat: Rohingya Ujian Kepemimpinan Indonesia

 Ribuan massa terdiri ormas Islam dan komunitas di Kota Bandung menggelar aksi solidaritas terkait tragedi kemanusiaan etnis Rohingya, di depan Gedung Sate, Senin (4/9).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Ribuan massa terdiri ormas Islam dan komunitas di Kota Bandung menggelar aksi solidaritas terkait tragedi kemanusiaan etnis Rohingya, di depan Gedung Sate, Senin (4/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Par Indonesia Strategic Research Guspiabri Sumowigeno mengatakan penyelesaian tragedi kemanusiaan di Rohingnya, Myanmar merupakan ujian kepemimpinan Indonesia di Asia Tenggara.

Jika perilaku rezim Myanmar tidak berubah maka RI dipermalukan. Sebaliknya, bila proposal yang diajukan pemerintah RI berhasil mengubah perilaku rezim Myanmar, kepemimpinan RI di Asia Tenggara akan semakin terlembaga. 

“Itu juga berarti RI mulai mampu mengimbangi pengaruh Cina di kawasan ini,” kata dia di Jakarta, Senin (4/9), dilansir dari Antara.

Guspi mengatakan bukan rahasia lagi kalau selama ini rezim Myanmar cenderung bersandar pada dukungan politik dan ekonomi dari Beijing.

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi sedang melakukan diplomasi dengan Myanmar terkait Rohingya. "Publik nasional menunggu dengan cemas apakah diplomasi oleh Menlu RI Retno LP. Marsudi terhadap rezim Myanmar akan membuahkan hasil atau tidak," kata Guspiabri. 

Guspiabri mengingatkan kesediaan Myanmar menerima dan berdialog dengan Menlu bukanlah jaminan bahwa rezim Myanmar pasti akan melunak pada protes internasional yang semakin meluas atas tindakan mereka terhadap suku Rohingnya. 

"Terutama yang bersifat sangat segera adalah penghentian penyiksaan dan pembunuhan terhadap suku Rohingnya," ucapnya.

Menurutnya peluang ke arah perubahan itu tidak besar karena pelanggaran HAM yang masif dan terstruktur atas suku Rohingnya sudah berlangsung lama, seperti tidak diakuinya suku ini sebagai bagian dari bangsa Myanmar, dan bisa dikatakan telah menjadi kebijakan negara yang kini dipimpin oleh pemegang hadiah Nobel itu. 

Ia mengatakan jika dalam waktu 24 jam sejak Menlu Retno meninggalkan Myanmar maka perilaku rezim Myanmar tidak berubah terhadap suku Rohingnya, maka kegiatan diplomasi yang digagas RI bisa dikatakan belum berhasil. Jika RI dipermalukan dan mengingat sensitivitasnya isu ini, Presiden Jokowi perlu bertanya pada DPR-RI, apakah langkah berikut yang dapat dilakukan Pemerintah RI. 

"DPR-RI perlu teliti mendengar kemarahan publik nasional dan mengkonversinya bukan hanya sebagai dalam format kecaman, tetapi format paket ancaman terhadap rezim Myanmar," ujarnya. 

Guspi mengatakan ancaman itu bisa berupa inisiatif Indonesia untuk membawa persoalan ini ke lingkungan internasional yang lebih luas. Seruan Indonesia agar komunitas internasional melalui PBB melakukan intervensi militer untuk alasan kemanusiaan. Membentuk mahkamah internasional untuk mengadili semua elemen rezim Myanmar yang terlibat dalam pembantaian suku Rohingnya. 

Dia mengatakan, pemerintah perlu diingatkan kerangka diplomasi RI terhadap Myanmar juga tak bisa mengabaikan pendekatan terhadap Beijing dan New Delhi yang punya banyak kepentingan ekonomi di sana. Diplomasi agar ikut mengoreksi perilaku rezim Myanmar terhadap suku Rohingnya. 

“Publik perlu memahami bahwa diplomasi terhadap Myanmar mungkin akan berlangsung alot dan berkembang lebih kompleks. Bukan hanya karena inisiatif Indonesia, tetapi juga karena dorongan dunia internasional yang menuntut tanggung jawab Indonesia sebagai negara terbesar dikawasan ASEAN,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement