Kamis 07 Sep 2017 19:32 WIB

Perempuan dan Anak Rohingya Luka Parah Terkena Ranjau Darat

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Seorang bocah Rohingya duduk di samping ibunya yang berisitirahat setelah melintasi perbatasan Bangladesh-Myanmar di Teknaf, Rabu (6/9).
Foto: Danish Siddiqui/Reuters
Seorang bocah Rohingya duduk di samping ibunya yang berisitirahat setelah melintasi perbatasan Bangladesh-Myanmar di Teknaf, Rabu (6/9).

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Insiden ledakan ranjau darat yang diletakkan di perbatasan Myanmar dan Banglasdeh telah membuat dua warga Rohingya terluka. Menurut pasukan penjaga perbatasan Bangaladesh, mereka adalah perempuan dan anak-anak dan mengalami luka parah. 

"Ledakan ranjau terjadi di bagian Myanmar, tepatnya wilayah utara Rakhine yang berdekatan dengan perbatasan," ujar penjaga perbatasan Bangladesh kepada CNN, Kamis (7/9). 

Ia menuturkan nampaknya beberapa ranjau diletakkan di dalam tanah, yang di atasnya merupakan area jalur warga Rohingya pergi melarikan diri ke Bangladesh. Secara otomatis, mereka melawati dan menginjak senjata berbahaya itu dan terkena ledakan. "Dalam insiden ledakan ranjau saya melihat seorang perempuan terluka parah di bagian kaki dan anak laki-laki di beberapa bagian tubuhnya," kata penjaga perbatasan Bangladesh tersebut. 

Ia meyakini bahwa kemungkinan besar ranjau diletakkan oleh pasukan militer Myanmar. Salah satu alasannya adalah kemungkinan besar alat peledak itu dimiliki oleh tentara negara itu dan dilakukan dengan tujuan mencegah warga Rohingya kembali ke Rakhine setelah mengungsi di Bangladesh. 

Meski demikian, pasukan militer Myanmar membantah tuduhan itu. Pihaknya mengatakan bahwa itu adalah ulah dari kelompok militan lokal di Rakhine, negara bagian yang selama ini menjadi tempat tinggal warga Rohingya. 

Beberapa foto yang diberikan kepada media menunjukkan bahwa ada warga Rohingya memegang ranjau di sisi perbatasan Myanmar. Namun, meski gambar itu benar, beberapa masyarakat dari etnis tersebut disebut diketahui telah mempelajari cara meredakan ranjau. 

Selain itu, dugaan bahwa militer Myanmar menempatkan ranjau darat adalah kesaksian dari sejumlah orang yang melihat hal ini dilakukan di sekitar wilayah perbatasan dengan penjagaan ketat mereka. Hingga saat ini, negara itu juga belum menandatangani Perjanjian Internasional Larangan Ranjau yang dibuat pada 1997.

Kekerasan yang terjadi pada warga Rohingya kembali terjadi pada 25 Agustus lalu, dengan terjadinya serangan di wilayah utara Rakhine. Sebanyak 20 pos keamanan polisi di area perbatasan Myanmar dan Bangladesh saat itu dilaporkan mendapat serangan. 

Menurut pasukan militer Myanmar, ada ratusan orang yang diyakini oleh mereka berasal dari kelompok militan Rohingya melakukan serangan tersebut. Beberapa membawa senjata, serta menggunakan bahan peledak buatan sendiri dalam serangan itu. 

Pertempuran antara pasukan keamanan Myanmar dan penyerang kemudian terus berlanjut. Tak hanya itu, tentara negara juga melakukan operasi di desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di sejumlah desa dan wilayah Rakhine. 

Situasi di Rakhine semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di sana. Kelompok aktivis Human Rights Watch mengatakan banyak bangunan dan area lingkungan warga, khususnya di Maungdaw, wilayah utara negara bagian itu yang terlihat terbakar dan ditunjukkan melalui media sosial. 

Diperkirakan ada 414 orang yang tewas dalam kekerasan terbaru di Rakhine dan kebanyakan adalah warga Rohingya. Selain itu ada lebih dari 100 ribu masyarakat etnis itu yang baru-baru ini melarikan diri ke Bangladesh. Namun, tak sedikit diantaranya yang mengalami luka parah karena tembakan yang dilepas oleh pasukan militer Myanmar dalam perjalanan mereka.

Selama ini warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu diantaranya yang tewas sejak terjadi konflik di Rakhine, tempat kebanyakan etnis tersebut menetap.

Warga Rohingya tidak mendapat hak kewargangeraan di Myanmar. Mereka dianggap oleh pemerintah negara itu sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh, meski secara sejarah etnis itu telah berada di Rakhine sejak lama dan dapat diakui sebagai penduduk resmi wilayah tersebut. 

Kekerasan yang terjadi terhadap Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu.  Operasi militer yang dilakukan oleh tentara Myanmar saat itu telah membuat lebih dari 100 ribu warga etnis tersebut harus berada di kamp pengungsi di Rakhine. Hingga kemudian pada Oktober 2016 gelombang kekerasan di Rakhine kembali terjadi. Saat itu sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement