REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Pemerintah Israel menolak untuk menghentikan pasokan senjata ke Myanmar. Selama ini banyak perusahaan senjata dari mereka yang juga melatih pasukan khusus Myanmar untuk berperang.
Sejumlah kelompok aktivis meyakini bahwa Israel menjadi bagian dari kekerasan yang dilakukan pasukan militer Myanmar di Rakhine. Secara langsung mereka terlibat melakukan apa yang diduga sebagai tindakan pembesihan etnis terhadap warga Rohingya di sana.
Kekerasan yang terjadi pada warga Rohingya kembali terjadi pada 25 Agustus lalu, dengan terjadinya serangan di wilayah utara Rakhine. Sebanyak 20 pos keamanan polisi di area perbatasan Myanmar dan Bangladesh saat itu dilaporkan mendapat serangan.
Menurut pasukan militer Myanmar saat itu, ada ratusan orang yang diyakini oleh mereka berasal dari kelompok militan Rohingya melakukan serangan tersebut. Beberapa membawa senjata, serta menggunakan bahan peledak buatan sendiri dalam serangan itu.
Pertempuran antara pasukan keamanan Myanmar dan penyerang kemudian terus berlanjut. Tak hanya itu, tentara negara juga melakukan operasi di desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di sejumlah desa dan wilayah Rakhine.
Situasi di Rakhine semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di sana. Kelompok aktivis Human Rights Watch mengatakan, banyak bangunan dan area lingkungan warga, khususnya di Maungdaw, wilayah utara negara bagian itu yang terlihat terbakar dan ditunjukkan melalui media sosial.
Hingga saat ini, diperkirakan ada 414 orang yang tewas dalam kekerasan terbaru di Rakhine dan kebanyakan adalah warga Rohingya. Selain itu ada lebih dari 100 ribu masyarakat etnis itu yang baru-baru ini melarikan diri ke Bangladesh. Namun, tak sedikit diantaranya yang mengalami luka parah karena tembakan yang dilepas oleh pasukan militer Myanmar dalam perjalanan mereka.
Selama ini warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu diantaranya yang tewas sejak terjadi konflik di Rakhine, tempat kebanyakan etnis tersebut menetap.
Warga Rohingya tidak mendapat hak kewargangeraan di Myanmar. Mereka dianggap oleh pemerintah negara itu sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh, meski secara sejarah etnis itu telah berada di Rakhine sejak lama dan dapat diakui sebagai penduduk resmi wilayah tersebut.
Kekerasan yang terjadi terhadap Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Operasi militer yang dilakukan oleh tentara Myanmar saat itu telah membuat lebih dari 100 ribu warga etnis tersebut harus berada di kamp pengungsi di Rakhine.
Sebelumnya, PBB juga mengumumkan penyelidikan menunjukkan bukti bahwa militer Myanmar dengan sengaja melakukan kekerasan yang menargetkan Rohingya di Rakhine. Bahkan, mereka juga melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap warga sipil, termasuk pemerkosaan perempuan.
Atas pengumuman itu, banyak negara di dunia yang telah mengeluarkan embargo senjata terhadap Myanmar. Diantaranya adalah Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa yang juga mengacu kepada Undang-undang Kebebasan Beragama Internasional unuk tidak terlibat serta mentolerir negara yang melakukan pelanggaran berat atas kebebasan beragama dan juga kemungkinan senjata dapat digunakan untuk alat penindasan.