REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Sekitar seratus orang berkumpul di depan kantor Kedutaan Besar Myanmar di Washington AS, kemarin, waktu setempat. Mereka memprotes penganiayaan yang terus saja dilakukan pemerintah Myanmar terhadap masyarakat Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Dalam aksi demonstrasi yang digelar oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR) itu, para demonstran mengusung spanduk yang berisi kecaman-kecaman atas kejahatan rezim militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya. “Kami sangat khawatir dengan apa yang sedang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap kaum minoritas paling teraniaya di dunia ini. Mereka (orang-orang Rohingya) dizalimi karena etnis dan agama mereka yang berbeda (dengan kelompok mayoritas),” Direktur Eksekutif CAIR, Nihad Awad, seperti dikutip laman World Bulletin, Sabtu (9/9).
Pada Oktober lalu, setelah aksi serangan terhadap pos-pos perbatasan di distrik Maungdaw Rakhine, pasukan keamanan Myanmar mulai melancarkan lagi aksi brutalnya terhadap komunitas Rohingya. Dalam aksi kekerasan yang berlangsung selama lima bulan itu, sekira 400 orang Rohingya terbunuh.
Kekerasan baru kembali meletus di negara bagian Rakhine, dua pekan lalu, ketika pasukan keamanan Myanmar melancarkan operasi terhadap masyarakat Rohingya. Ada ribuan orang Rohingya yang dibantai dalam operasi militer tersebut.
Awad pun mengecam pemerintah Myanmar dan mengatakan bahwa penguasa di negeri itu seperti sedang hidup di zaman batu. Yang lebih parahnya lagi, kata dia, pemerintah Myanmar sakan-akan tengah menunjukkan kepada dunia bahwa mereka memiliki mentalitas kesukuan yang terlalu berlebihan dan rasialis.
“Mereka (pemerintah Myanmar) menilai orang-orang berdasarkan warna kulit dan etnisitas. Bukan dengan nilai-nilai budi pekerti atau dengan hukum yang berlaku di negara mereka. Pemerintah Myanmar telah menunjukkan diri sebagai pemerintahan yang gagal,” ucap Awad.
Dia pun mengkritisi sikap pemimpin de facto Myanmar yang juga pemenang hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi. Menurut Awad, Suu Kyi menjadi bagian dari kekejaman yang saat ini dialami masyarakat Rohingya di Myanmar. “Mungkin dia (Suu Kyi) diberi penghargaan (Nobel Perdamaian) itu karena keyakinannya pada demokrasi dan hak asasi manusia yang berlaku untuk semua orang. Tapi begitu dia mendapat kekuasaan, dia malah membiarkan orang-orang dibunuh, dipenggal, ditembak, dan dibantai seperti domba,” kecam Awad.
Menurut laporan PBB, sebanyak 270 ribu pengungsi Rohingya telah menyeberang ke Bangladesh dalam dua pekan terakhir untuk menghindari berbagai kekejaman yang dilakukan rezim Myanmar. Tidak hanya itu, PBB juga menggambarkan etnis Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia. Mereka menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak meletusnya konflik komunal pada 2012.