REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS — Solidaritas terhadap masyarakat Rohingya terus mengalir dari dunia internasional. Akhir pekan ini, dua aksi demonstrasi terpisah diadakan di ibu kota Tunisia, Tunis, untuk memprotes penganiayaan yang terus berlanjut terhadap komunitas Muslim yang bermukim di Negara Bagian Rakhine, Myanmar itu.
Unjuk rasa pertama digelar oleh gerakan Cinta Kasih Tunisia (Tayar al-Mahaba), di pusat kota Tunis, Jumat (8/9) lalu. Puluhan demonstran yang tergabung dalam aksi tersebut melambaikan spanduk yang mengecam kejahatan militer Myanmar yang sedang berlangsung terhadap Muslim Rohingya.
Mereka membagikan selebaran yang isinya mengecam pasukan tindakan brutal aparat keamanan Myanmar terhadap kelompok minoritas Muslim di negara tersebut. Salah satu isi selebaran tersebut juga meminta pemerintah Tunisia bersama dengan negara-negara sahabat agar segera mengambil langkah intervensi untuk menghentikan penindasan yang terjadi di Myanmar.
Sementara, unjuk rasa kedua diadakan di sebelah Teater Nasional Tunis. Di sana, puluhan aktivis dari Gerakan Demokrat Tunisia mengutuk keras kekejaman yang dilakukan rezim Mynamar terhadap komunitas Rohingya. Para demonstran membawa spanduk bertuliskan, “Akhiri pertumpahan darah di Myanmar”, “Hentikan pembunuhan umat Islam”, dan “Dunia menonton saat orang-orang Muslim terbunuh”.
Sejak 25 Agustus, tentara Myanmar telah meningkatkan operasinya di negara bagian Rakhine dengan dalih untuk memerangi kelompok milisi bersenjata. Namun faktanya, operasi tersebut justru menyebabkan banyaknya korban tewas yang berjatuhan di kalangan masyarakat sipil Muslim Rohingya di Rakhine.
Sampai hari ini, berapa sebenarnya jumlah korban yang meninggal akibat kekejaman militer Myanmar belum lagi dapat dihitung. Sebab, pemerintah Myanmar melarang organisasi internasional untuk memasuki wilayah Rakhine.
Menurut laporan PBB, sebanyak 270 ribu pengungsi Rohingya telah menyeberang ke Bangladesh dalam dua pekan terakhir untuk menghindari berbagai kekejaman yang dilakukan rezim Myanmar. Tidak hanya itu, PBB juga menggambarkan etnis Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia. Mereka menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak meletusnya konflik komunal pada 2012.