REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah Myanmar dilaporkan akan mulai menyediakan kamp bantuan bagi warga Rohingya yang berada di Rakhine, Sabtu (9/9). Ini adalah langkah kemajuan pertama yang dilakukan sejak konflik terjadi wilayah negara bagian itu dalam 16 hari terakhir.
"Seluruh warga yang saat ini harus mengungsi akan menerima bantuan kemanusiaan dan perawatan medis sesuai kebutuhan dan didistribusikan oleh petugas palang merah setempat," ujar pernyataan dari Pemerintah Myanmar melalui kantor berita negara Global New Light dilansir dari Strait Times, Ahad (10/9).
Kekerasan kembali terjadi pada warga Rohingya pada 25 Agustus lalu. Awalnya, terdapat serangan di wilayah utara Rakhine yang membuat sebanyak 20 pos keamanan polisi di area perbatasan Myanmar dan Bangladesh.
Menurut pasukan militer Myanmar saat itu, ada ratusan orang yang diyakini oleh mereka berasal dari kelompok militan Rohingya melakukan serangan tersebut. Beberapa membawa senjata, serta menggunakan bahan peledak buatan sendiri dalam serangan itu.
Pertempuran antara pasukan keamanan Myanmar dan penyerang kemudian terus berlanjut. Tak hanya itu, tentara negara juga melakukan operasi keamanan di desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di sejumlah desa dan wilayah Rakhine.
Situasi di Rakhine semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di sana. Kelompok aktivis Human Rights Watch mengatakan banyak bangunan dan area lingkungan warga, khususnya di Maungdaw, wilayah utara negara bagian itu yang terlihat terbakar dan ditunjukkan melalui media sosial.
Diperkirakan, ada 414 orang yang tewas dalam kekerasan terbaru di Rakhine dan kebanyakan adalah warga Rohingya. Selain itu, hingga saat ini tercatat ada 270 ribu dari mereka yang mayoritas Muslim tersebut melarikan diri ke Bangladesh. Namun, tak sedikit di antaranya yang mengalami luka parah karena tembakan yang dilepas oleh pasukan militer Myanmar dalam perjalanan mereka.
Pemerintah Bangladesh telah mendesak Pemerintah Myanmar untuk menyediakan zona aman bagi semua korban konflik di Rakhine. Hal ini secara khusus ditujukan terhadap warga Rohingya yang seakan menjadi target kekerasan.
Selain Rohingya, ada 27 ribu warga di Rakhine yang merupakan umat Budha dan Hindu juga mengungsi karena situasi konflik di lingkungan mereka. Saat ini, seluruhnya ditempatkan di bangunan wihara serta sekolah untuk berlindung.
Karena itu, Pemerintah Myanmar telah diminta dan didesak oleh internasional untuk turut memberi perlindungan kepada warga Rohingya. Termasuk juga memberikan akses kepada kelompok-kelompok kemanusiaan yang bermaksud mendistribusikan bantuan di Rakhine kepada mereka semua.
Kecaman sebelumnya juga telah diberikan kepada Pemerintah Myanmar. Salah satunya yang semakin meningkatkan kecaman yakni blokir yang dilakukan kepada organisasi kemanusiaan dan bantuan yang dikerahkan PBB di Rakhine. Pasokan makanan, air, serta obat-obatan yang diperlukan warga sipil akibat konflik di negara bagian itu hingga saat ini masih tidak dapat diberikan.
Kekerasan terhadap warga Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Operasi militer yang dilakukan oleh tentara Myanmar saat itu telah membuat lebih dari 120 ribu warga etnis tersebut harus berada di kamp pengungsi di Rakhine.
Hingga Oktober 2016, gelombang kekerasan di Rakhine berlanjut. Saat itu, sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine.
Selama ini, warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu di antaranya yang tewas sejak terjadi konflik di Rakhine, tempat kebanyakan etnis tersebut menetap.
Warga Rohingya tidak mendapat hak kewargangeraan di Myanmar. Mereka dianggap oleh pemerintah negara itu sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh, meski secara sejarah etnis itu telah berada di Rakhine sejak lama dan dapat diakui sebagai penduduk resmi wilayah tersebut.