REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Kajian Timur Tengah dan Dunia Islam, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Muhammad Fakhry Ghafur mengatakan, meskipun ISIS telah terdesak dari Kota Mosul di Irak dan Kota Raqqa di Suriah, namun ternyata ancaman ISIS belum berakhir.
"Masyarakat di Timur Tengah menilai ISIS masih menjadi ancaman. Mereka masih mampu mempengaruhi kelompok-kelompok di Timur Tengah," katanya di Gedung LIPI, Senin, (11/9).
Ideologi ISIS masih tersebar di jaringan internet lewat berbagai media sosial. Ideologi ISIS ini berbahaya. Walaupun ISIS terdesak dari Mosul dan Raqqa ancamannya belum berakhir. Sebab mereka bisa berpindah ke tempat lain.
"Irak dan Suriah harus segera melakukan rekonsiliasi untuk menjadikan ISIS sebagai musuh bersama. Ini perlu dilakukan sebab mereka masih akan terus melakukan perlawanan," kata Fakhry.
ISIS, jelas dia, tumbuh subur di Irak dan Suriah karena di kedua negara tersebut kondisi politiknya kacau. Selain itu rezim di sana tak mampu mengatasi kekacauan politik dan di sana terjadi ketidakadilan.
Ini semua medium yang bagus bagi timbulnya gerakan-gerakan radikal. Adanya gerakan radikal mempermudah ISIS masuk ke dalamnya. Bahkan sebagian gerakan radikal ada yang bergabung dengan ISIS.
"Sikap represif rezim di Suriah menimbulkan perlawanan dari kelompok-kelompok gerakan radikal. Kehadiran ISIS memperburuk krisis di Suriah dan Irak."
Baik di Irak maupun Suriah masih penuh dengan konflik. Dampaknya diproklamirkan ISIS di Mosul ternyata tak hanya di bidang ekonomi, namun juga penyebaran ideologi ISIS yang sangat masif.
Direktur Eksekutif The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Ryantori mengatakan, ISIS akan terus menjadi ancaman yang berbahaya. "Bahkan takutnya ISIS berubah menjadi wajah baru. Selama faktor ketidakadilan dan harga diri mereka diacak-acak maka radikalisme tetap ada," ujarnya.n dyah ratna meta novia