Selasa 12 Sep 2017 09:44 WIB

AS Pertimbangkan Strategi Baru yang Agresif untuk Iran

Rep: PUTI ALMAS/ Red: Winda Destiana Putri
Donald Trump
Foto: AP
Donald Trump

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tengah mempertimbangkan strategi baru yang disebut lebih agresif untuk menekan Iran. Langkah ini hendak dilakukan atas peran dari negara itu yang dianggap membantu terorisme dan kelompok militan di Timur Tengah.

Proposal strategi baru itu diajukan oleh Menteri Pertahanan AS James Mattis, Menteri Luar Negeri Rex Tillerson, serta Penasihat Keamanan Nasional H.R. McMaster. Mereka akan secara khusus memperesentasikan langkah tersebut dalam sebuah pertemuan Dewan Keamanan pada Jumat (15/9) mendatang.

Diharapkan proposal itu dapat disepekati pada akhir bulan ini. Strategi baru untuk Iran juga disebut menargetkan sejumlah tindakan berbahaya yang diduga dilakukan negara itu, seperti pengembangan program nuklir dan kegiatan mata-mata.

"Saya akan menyebut strategi ini sebagai strategi luas untuk berbagai kejahatan Iran, mulai dari dukungan terhadap terorisme, menciptakan destabilisasi di Timur Tengah, khususnya Suriah, Irak, dan Yaman," ujar seorang pejabat senior Pemerintah AS dalam kondisi anonimitas, Senin (11/9).

Pada Agustus lalu, Pemerintah AS juga telah menyetujui rancangan Undang-Undang baru yang memungkinkan diberikannya sanksi tambahan terhadap Iran. Namun, hal itu dinilai telah melanggar kesepakatan nuklir yang tercapai dibuat oleh Negeri Paman Sam bersama dengan Dewan Keamanan PBB pada 2015.

Kesepakatan nuklir Iran yang dibuat bersama dengan Dewan Keamanan PBB memuat ketentuan bahwa Iran harus mengurangi produksi uranium, serta meniadakan segala kemungkinan pengembangan senjata nuklir. Meski AS mengatakan bahwa Teheran mematuhi perjanjian, namun sanksi harus diberikan karena negara adidaya itu tetap merasakan adanya ancaman.

Iran selama ini dinilai sebagai ancaman utama AS dengan kemungkinan bahwa negara itu dengan program nuklirnya dapat mengembangkan senjata berbahaya seperti rudal balistik. Dalam kesepakatan nukilr yang dibuat, AS merasa belum sepenuhnya dapat terlindung dari kemungkinan bahaya tersebut.

Hal itu diantaranya karena di dalam isi perjanjian, tidak dibahas adanya kekhawatiran dunia mengenai kegiatan non-nuklir Iran. Termasuk juga membuat AS dan negara lain yang terlibat dalam perjanjian dapat menghukum Iran atas adanya kemungkinan terjadinya hal itu.

Trump juga selama ini dikenal sebagai sosok yang mengecam kesepakatan nuklir Iran. Perjanjian dibuat saat AS berada di bawah pemerintahan mantan presiden Barack Obama itu disebut olehnya sebagai hal terburuk yang dinegosiasikan, dilansir laman Reuters.

sumber : Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement