REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) akan mengadakan pertemuan pada Rabu (13/10) untuk membahas kekerasan terhadap Rohingya yang terjadi di Myanmar. Pertemuan darurat ini digagas oleh Inggris dan Swedia di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional mengenai kekerasan yang sedang berlangsung di negara bagian Rakhine.
"Ini adalah tanda kekhawatiran yang dirasakan anggota Dewan Keamanan mengenai situasi yang terus memburuk bagi banyak orang Rohingya yang ingin melarikan diri dari negara bagian Rakhine," kata Duta Besar Inggris Matthew Rycroft, dikutip Channel News Asia, Selasa (12/9).
DK PBB terakhir melakukan pertemuan tertutup pada akhir Agustus lalu untuk membahas kekerasan tersebut, namun tidak ada pernyataan resmi yang dikeluarkan. Rycroft mengatakan, dia mengharapkan adanya kesepakatan dalam pertemuan DK PBB kali ini.
Pada Senin (11/9) Ketua Dewan HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein menuduh Myanmar telah melakukan serangan sistematis terhadap Rohingya. Ia memperingatkan kemungkinan adanya pembersihan etnis yang saat ini sedang berlangsung.
Pemimpin de facto Myanmar, peraih hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, telah menghadapi kecaman internasional yang kuat mengenai tindakan keras militernya terhadap minoritas Muslim Rohingya. Krisis dimulai saat gerilyawan Rohingya menyerang pasukan keamanan Myanmar di negara bagian Rakhine pada 25 Agustus lalu.
Diplomat PBB mengatakan Cina telah menolak keterlibatan DK PBB dalam menangani krisis tersebut. Peraih Nobel Perdamaian Dalai Lama, Malala Yousafzai, dan Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu telah mendesak Suu Kyi untuk menjauhkan diri dari kekerasan dan berbicara mengenai kekerasan itu.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan setidaknya 313 ribu warga Rohingya kini telah tiba di Bangladesh dari negara bagian Rakhine sejak 25 Agustus. Jumlah tersebut sekitar sepertiga dari total populasi Rohingya sebanyak 1,1 juta.