Selasa 12 Sep 2017 10:14 WIB

Sepucuk Surat dari Rohingya untuk Dunia

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Winda Destiana Putri
Bocah Rohingya di pengungsian bersama pengungsi lainnya berteduh di sebuah pohon di Ukhiya, Cox Bazaar, Bangladesh
Foto: Abir Abdullah/EPA
Bocah Rohingya di pengungsian bersama pengungsi lainnya berteduh di sebuah pohon di Ukhiya, Cox Bazaar, Bangladesh

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR - Rashida, perempuan Muslim Rohingya berusia 25 tahun, turut menjadi korban kekerasan yang terjadi dari negara bagian Rakhine di Myanmar. Setelah melarikan diri sembilan hari yang lalu ke Bangladesh, ia ingin membagikan kisahnya kepada dunia melalui sepucuk surat.

Berikut surat Rashida yang diterbitkan Aljazirah, Senin (11/9).

Nama saya Rashida dan saya berusia 25 tahun. Sebelum revolusi Arakan, saya menjalani kehidupan yang sangat nyaman dan sederhana. Saya memiliki rumah yang saya tinggali bersama suami dan ketiga anak kami. Kami memiliki beberapa sawah yang kami tanam. Saat itu sangat damai sampai akhirnya krisis menghampiri.

Kami telah meninggalkan semua yang kami punya. Rumah dan ladang kami telah terbakar sehingga kami tidak bisa lagi tinggal di sana.

Ketika militer mulai melakukan penembakan di desa kami, kami dengan cepat membawa anak-anak ke dalam hutan dan menyembunyikannya. Tapi, ketika saya kembali memeriksa rumah, saya melihat tepat dengan mata kepala sendiri, banyak orang telah terbunuh.

Dari hutan, kami berjalan selama delapan hari sampai kami tiba di perbatasan. Kami sangat lapar dan tidak makan apapun kecuali dedaunan dari pohon. Anak-anak terus meminta makanan, tapi kami tidak membawa apapun.

Kami menyeberangi perbatasan dengan sebuah perahu kecil. Rasanya sangat menakutkan dan saya pikir kami akan tenggelam, jadi saya mencengkeram anak-anak dengan erat.

Saya sebenarnya tidak senang berada di Bangladesh. Kami dulu memiliki hewan ternak, 0,4 hektar sawah, sebuah rumah, dan kami memiliki desa yang makmur di negara kami sendiri. Kami telah meninggalkan semua itu, jadi saya yakin Anda bisa membayangkan betapa menyedihkannya perasaan kami.

Kami merindukan rumah kami. Kami merasa putus asa di sini. Kami tidak tahu bagaimana masa depan kami sekarang.

Kami tidak mendapatkan cukup bantuan di sini. Orang-orang Bangladesh bersikap baik dan banyak menyumbangkan pakaian serta makanan, tapi saya belum melihat ada organisasi internasional. Saya berharap mereka juga akan membantu kami karena kami membutuhkan makanan untuk dimakan.

Pesan saya ke dunia luar adalah kami menginginkan kedamaian. Kita tidak akan punya masa depan tanpa kedamaian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement