REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan akan melakukan pembahasan sejumlah isu-isu utama mengenai hubungan bilateral dan masalah lainnya dengan Amerika Serikat (AS). Ia dijadwalkan untuk bertemu dengan Presiden Donald Trump di sela-sela pertemuan Majelis Umum PBB pada akhir bulan ini.
"Kami sepakat akan membicarakan semua isu dan masalah utama secara langsung, termasuk kebutuhan untuk memperkuat hubungan timbal balik kedua negara," ujar Erdogan saat ditanya mengenai percakapan telepon dengan Trump, dilansir Hurriyet Dalily News, Selasa (12/9).
Erdogan dan Trump melakukan percakapan melalui telepon pada 9 September lalu. Kedua pemimpin negara disebut membahas kemitraan strategis yang harus diperkuat serta isu-isu regional. Termasuk salah satunya adalah mengenai konflik di Rakhine, Myanmar.
"Dalam panggilan telepon saya memberi tahu Trump bahwa bagaimana pentingnya bagi kami atas kepedulian dan kepekaan AS atas konflik yang terjadi di Rakhine dan ini akan menjadi salah satu hal yang saya akan kemukakan di Majelis Umum PBB," jelas Erdogan.
Konflik yang terjadi di Rakhine kembali mencuat 25 Agustus lalu. Pada awalnya, terdapat serangan di wilayah utara negara bagian tersebut, tepatnya di sekitar 30 pos keamanan polisi area perbatasan Myanmar dan Bangladesh.
Menurut pasukan militer Myanmar saat itu, ada ratusan orang yang diyakini oleh mereka berasal dari kelompok militan Rohingya melakukan serangan tersebut. Beberapa membawa senjata, serta menggunakan bahan peledak buatan sendiri dalam serangan itu.
Pertempuran antara pasukan keamananMyanmar dan penyerang kemudian terus berlanjut. Tak hanya itu, tentara negara juga melakukan operasi keamanan di desa-desa yang menjadi tempat tinggal penduduk dari etnis tersebut di sejumlah desa dan wilayah Rakhine.
Situasi di Rakhine semakin memburuk dengan adanya laporan pembakaran desa-desa yang menjadi tempat tinggal warga Rohingya di sana. Kelompok aktivis Human Rights Watch mengatakan banyak bangunan dan area lingkungan warga, khususnya di Maungdaw, wilayah utara negara bagian itu yang terlihat terbakar dan ditunjukkan melalui media sosial.
Diperkirakan ada 414 orang yang tewas dalam kekerasan terbaru di Rakhine dan kebanyakan adalah warga Rohingya. Selain itu hingga saat ini tercatat ada 270 ribu dari mereka yang mayoritas Muslim tersebut melarikan diri ke Bangladesh. Namun, tak sedikit diantaranya yang mengalami luka parah karena tembakan yang dilepas oleh pasukan militer Myanmar dalam perjalanan mereka.
Kekerasan yang terjadi terhadap warga Rohingya pertama kali terdengar pada 2012 lalu. Operasi militer yang dilakukan oleh tentara Myanmar saat itu telah membuat lebih dari 120 ribu warga etnis tersebut harus berada di kamp pengungsi di Rakhine. Hingga kemudian kasus ini kembali mencuat pada Oktober 2016, di mana menyebabkan sekitar 70 ribu warga etnis itu melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari operasi militer Myanmar di Rakhine.
Selama ini warga Rohingya diyakini menjadi salah satu etnis minoritas Myanmar yang kerap menjadi korban kekerasan dari pemerintah negara itu. Lebih dari 140 ribu diantaranya yang tewas sejak terjadi konflik di Rakhine, tempat kebanyakan etnis tersebut menetap.
Warga Rohingya tidak mendapat hak kewargangeraan di Myanmar. Mereka dianggap oleh pemerintah negara itu sebagai imigran ilegal yang berasal dari Bangladesh, meski secara sejarah etnis itu telah berada di Rakhine sejak lama dan dapat diakui sebagai penduduk resmi wilayah tersebut.