Selasa 12 Sep 2017 11:33 WIB

Krisis Rohingya tak Kurangi Popularitas Suu Kyi di Myanmar

Rep: Fira Nursyahbani/ Red: Winda Destiana Putri
Aung San Suu Kyi
Foto: EPA/Hein Htet
Aung San Suu Kyi

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Di tengah hiruk pikuk pedagang dan pembeli di pasar Bogyoke di Yangon, terlihat ada kaus-kaus yang menggantung di sejumlah toko baju. Yang istimewa dari kaus-kaus itu adalah gambar pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi di depannya, yang dihiasi dengan tulisan "Pemimpin Kami".

Pasar Bogyoke merupakan tempat Suu Kyi memperoleh dukungan luar biasa dari etnis Burma, etnis terbesar dari 135 etnis yang ada di Myanmar. Nama Bogyoke bahkan didapat dari ayahnya yang merupakan pahlawan nasional Myanmar, Jenderal Aung San.

Dukungan terhadap Suu Kyi tetap mengalir mesti ia mendapat kecaman dari masyarakat internasional mengenai penanganan krisis kemanusiaan yang terjadi di negara bagian Rakhine. Selama tiga pekan terakhir, lebih dari 290 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh dan ratusan orang terbunuh dalam bentrokan terbaru dengan militer Myanmar.

Bagi orang-orang Burma, yang mengalami penindasan selama hampir enam dekade di bawah pemerintahan militer sosialis, Suu Kyi bersama Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) adalah pahlawan. Suu Kyi yang mulai berkuasa setelah pemilihan umum pada 2015, telah melakukan kebangkitan ekonomi dan sosial yang memberi mereka kesempatan untuk menjalani hidup secara damai.

"Aung San Suu Kyi tahu banyak hal dan saya sangat bahagia. Dia melihat semua masalah dengan jelas," kata penjual barang antik, Zaw Myo Htun, (40 tahun).

Seperti kebanyakan orang Burma yang diwawancarai oleh Aljazirah, Zaw Myo juga ragu untuk berbicara tentang krisis Rohingya. Namun bagaimanapun juga, ia yakin Suu Kyi dapat menanganinya. "Bersama-sama mereka (Suu Kyi dan militer) sedang melakukan pekerjaan itu," ungkapnya.

Analis politik Yan Myo Thein mengatakan kepada Aljazirah, krisis Rohingya tidak mengurangi popularitas Suu Kyi di dalam negeri. Menurutnya, dukungan terhadap Suu Kyi tetap konsisten di seluruh Myanmar.

"Saya percaya dia masih sangat populer di kalangan mayoritas warga Myanmar. Saya pikir popularitasnya di daerah kota di antara warga intelektual sudah mulai terancam, namun tidak ada pilihan atau alternatif lain untuk mengisi kekosongan kepemimpinan di Myanmar selain Daw Aung San Suu Kyi," katanya.

Di antara mereka yang telah mengkritik atau secara terang-terangan mengutuk kelambanan Suu Kyi terhadap krisis Rohingya adalah organisasi internasional, kelompok HAM, dan PBB. Selain itu, politisi AS seperti Senator John McCain dari Arizona, dan lebih dari selusin pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, termasuk Desmond Tutu, juga turut mengecam Suu Kyi.

"Bagi kebanyakan orang Burma, kediktatoran militer dan totalitarianisme adalah mimpi buruk sejarah mereka. Ancaman kembalinya mimpi buruk semacam itu mungkin memperkuat dukungan mereka terhadap Daw Aung San Suu Kyi, meskipun mereka juga mengkritik kegagalan pemerintah," tutur Yan Myo Thein.

Rohingya telah lama menjadi sasaran diskriminasi di negara mayoritas Buddha ini. Sebelum bentrokan antara militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dan militer Myanmar terjadi pada 25 Agustus lalu, sekitar 140 ribu Muslim Rohingya telah mengungsi terlebih dahulu selama operasi militer yang dimulai pada 2012.

Menurut beberapa kelompok internasional, kesalahan ada di tangan militer nasional garis keras Myanmar. Selama bertahun-tahun mereka dinilai telah menghasut sentimen anti-Muslim di seluruh Myanmar.

"Sejak dimulainya liberalisasi politik pada 2011, Myanmar telah terganggu oleh kebangkitan nasionalisme Buddhis yang ekstrem, pidato kebencian anti-Muslim, dan kekerasan komunal yang mematikan, tidak hanya di negara bagian Rakhine tapi juga di seluruh negeri," kata International Crisis Group dalam sebuah laporan yang dirilis pekan lalu.

Sejak Suu Kyi mengambil alih kekuasaan, pemerintah telah memfokuskan upaya yang cukup besar dalam membatasi nasionalisme Buddhis dan mendorong otoritas Buddhis di Myanmar untuk melarang kelompok tersebut. Namun upaya tersebut sebagian besar tidak efektif dan bahkan justru semakin memperburuk keadaan.

Isu ini berjalan jauh lebih dalam karena sentimen anti-Muslim semakin merayap ke dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari di Myanmar. Beberapa koran lokal telah meninggalkan penggunaan kata Rohingya. Sementara media pemerintah sekarang menggunakan kata "Bengali" untuk menyebut Rohingya, yang secara luas dianggap sebagai penghinaan.

Selama bertahun-tahun, nasionalis Buddhis juga menggunakan Kota Yangon, kota terbesar di Myanmar, sebagai tempat untuk mengarahkan demonstrasi massa melawan populasi Muslim. Baru-baru ini pada 30 Agustus lalu, beberapa ratus nasionalis Buddhis, berkumpul di Yangon untuk mendesak tindakan yang lebih keras terhadap Rohingya.

Bagi orang Burma di Yangon, hampir 700km dari Rakhine, masalahnya juga merupakan salah satu informasi yang dapat dipercaya karena media lokal dipandang oleh banyak orang sebagai menjajakan agenda mereka sendiri, sementara sebagian besar penduduk sekarang beralih ke akun media sosial yang terkenal dan tidak dapat dipercaya untuk ditemukan. informasi.

Sebenarnya, sedikit yang diketahui populasi Muslim Rohingya di Myanmar karena pemerintah memilih untuk menghilangkan mereka dari sensus nasional pertama di negara tersebut dalam 30 tahun yang dipublikasikan pada bulan Mei 2015.

Yang membuat keadaan menjadi lebih buruk adalah Suu Kyi tetap diam melihat perkembangan yang berkaitan dengan krisis Rohingya. Ia terus bekerja berdampingan dengan militer yang masih berkuasa.

Dalam sebuah pernyataan pekan lalu yang dikeluarkan oleh kantornya, Suu Kyi memilih untuk menyalahkan "teroris" karena adanya kesalahan informasi tentang kekerasan tersebut. Sementara kebanyakan orang Burma masih memuji Suu Kyi, ada yang mengatakan sudah saatnya dia mulai membuka suara, setelah selama tiga dekade selalu berbicara tentang HAM.

"Saya pikir dia harus berbicara tentang isu [Rohingya] dan tidak malu akan itu. Kami - dan termasuk saya - adalah bagian dari kelompok yang kecewa [terhadap dia]. Orang-orang telah sabar menunggu selama 20 tahun untuknya memimpin. Saya marah padanya, sangat marah," kata Aung Zaw, editor dan pendiri surat kabar The Irrawaddy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement