REPUBLIKA.CO.ID,Meski Indonesia menjadi salah satu negara terdekat Australia, hanya sedikit restoran Indonesia yang bisa ditemukan di kota-kota besar dibandingkan dengan restoran Cina, Jepang, dan Thailand.
Contoh makanan Indonesia yang dijual di Facebook. Foto: Facebook, The Rock group
Tapi untung ada jejaring sosial, seperti Facebook, dimana bisa dengan mudah menemukan jajanan dan makanan Indonesia menggiurkan yang dimasak di rumah-rumah.
Inggita Shintowati adalah warga Indonesia di Sydney yang sedang menjajaki kariernya sebagai dokter. Ia mengaku sering kangen dengan makanan khas Indonesia seperti pancake durian, yang lebih jarang ditemukan di Australia dibanding nasi goreng.
Inggita dan sejumlah warga Indonesia lainnya di Australia menemukan penjual makanan Indonesia di Facebook. Biasanya para penjual makanan rumahan ini memasang foto, harga, dan kapan makanan bisa diambil atau diantarkan.
"Saya memesannya sekali atau dua kali dalam sebulan, tergantung dari apa yang mereka tawarkan," kata Inggita. "Menu mereka berubah setiap saat."
Bisa menghasilkan ribuan dolar per minggu
Salah satu penjual makanan asal Melbourne, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengaku telah menjual produk makanannya lewat Facebook selama beberapa tahun. "Saya biasanya membuka PO [pre-order] sekali atau dua kali dalam seminggu, waktu saya di Sydney kadang tiga kali seminggu," ujarnya.
Biasanya, ia mengaku menjual 130 porsi makanan untuk satu kali PO, dengan harga sekitar 8 dolar AS hingga 12 dolar AS per porsi, atau kurang lebih Rp 80.000 - Rp 120.000. "Seringnya saya memasak sendiri untuk membuat 100 porsi. tapi waktu saya tinggal di Sydney, kadang saya minta tolong dua atau tiga teman saya untuk membantu," tambahnya.
Kekhawatiran soal kebersihan dan kesehatan
Sebagai pembeli, Inggita mengaku tidak pernah bertanya kepada penjual makanan di Facebook soal bagaimana makanan disiapkan, dimasak, dan disajikan. Ia tidak pula bertanya soal sertifikat keamanan sebelum membeli makanan. "Saya memilih penjual yang sudah memiliki reputasi baik," ujarnya.
"Ada tiga atau empat penjual makanan yang kebetulan teman saya, jadi saya tahu mereka bersih."
"Saya rasa karena mereka memasaknya kadang-kadang, satu atau dua kali seminggu, dan terbatas hanya untuk keluarga atau teman-teman, jadi saya asumsikan mereka bersih dan aman," kata Inggita.
Dibawah undang-undang Australia, para penjual makanan harus tunduk pada aturan standar makanan di Australia dan Selandia Baru. Mereka juga harus mengikuti hukum di masing-masing negara bagian. Di negara bagian Victoria misalnya, para penjual makanan harus memenuhi persyaratan peraturan Food Act 1984.
"Siapapun yang memasak makanan di rumah dan menjualnya di jejaring sosial harus terdaftar oleh pemerintah lokal mereka [council], seperti bisnis makanan lainnya," ujar Tim Vainoras, juru bicara Departemen Kesehatan dan Pelayanan Warga di Victoria.
"Jangan pernah membeli makanan dari penjual di sosial media, jika mereka tidak bisa menunjukkan sertifikat. Kita tidak dapat meyakinkan jika makanan tersebut aman untuk dikonsumsi."
Tim juga memperingatkan penjual makanan yang tidak mengikuti peraturan bisa beresiko terkena denda lebih dari 19.000 dolar AS, atau sekitar Rp 190 juta. Penjual makanan yang tidak mau disebutkan namanya mengaku jika ia tidak memiliki sertifikat pengolahan dan penyajian makanan. Ia pun sudah paham jika bisnis yang dijalankannya melanggar hukum. "Tapi suami saya adalah juru masak dan dia punya sertifikat," ujarnya.
Ratih Purwati Friend, adalah warga Indonesia di Melbourne yang juga menjual makanan. Bisnisnya adalah menyediakan katering untuk acara-acara. Ia mengatakan sertifikat pengolahan dan penyajian makanan sebenarnya bisa dengan mudah didapatkan dan cukup murah.
"Sangat mudah... kurang dari 300 dolar AS [sekitar Rp 3 juta]," ujarnya. "Saya melakukannya dengan kursus dalam sehari, kemudian di akhir kursus saya mendapatkan sertifikat."
"Dalam kursus tersebut saya belajar bagaimana mempersiapkan makanan. Misalnya, jika kita mengeluarkan ikan dan daging dari freezer, kita harus langsung memasaknya hari itu juga. Jangan dikembalikan ke freezer. Itu yang membuat orang sakit."
Tantangan bagi pemilik restoran
Lielie Tjoa, pemilik restoran Nelayan di Melbourne, mengatakan ia tidak keberatan bersaing dengan penjual makanan rumahan di Facebook.
Meski ia mengaku ada 'perang harga', karena penjual makanan rumahan menjual lebih murah dari restoran.
"Saat ini di Australia, makanan Indonesia tidak sepopuler makanan Thailand atau Vietnam," katanya.
"Ada banyak pengeluaran untuk membuka bisnis restoran, untuk biaya sewa, membayar inspeksi kesehatan, dan kadang setelah tempat diinspeksi, selalu ada saja hal yang harus diperbaiki atau diubah."
Lielie mengatakan kesehatan konsumen beresiko jika membeli makanan di sosial media yang tidak memiliki peraturan. "Restoran juga harus memiliki insuransi yang cukup besar, karena kita harus memastikan produk makanan kita aman."
Diterbitkan 12/09/2017 pukul 14:30 AEST. Simak pula laporannya dalam bahasa Inggris di sini.