REPUBLIKA.CO.ID, YANGOON -- Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, menolak datang di sidang umum Dewan Keamanan PBB yang akan berlangsung pada pekan ini. BBC, Rabu (13/9), melaporkan, penolakan tokoh pro-demokrasi itu lantaran kritik dari banyak pemimpin dunia mengenai krisis Rohingya.
Adapun pada tahun 2016 lalu, Suu Kyi tetap hadir dalam sidang penting tersebut. "Pemimpin negara (Aung San Suu Kyi --red) tidak akan hadir sidang DK PBB," kata juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, seperti dikutip BBC, Rabu (13/9).
Sampai berita tersebut ditulis, sebanyak 370 ribu orang Rohingya telah melintasi perbatasan Myanmar-Bangladesh. Mereka terpaksa mengungsi ke negeri tetangga karena diusir oleh kekuatan militer Myanmar dari kampung halaman mereka sendiri, yakni negara-bagian Rakhine, Myanmar.
Etnis yang mayoritasnya merupakan umat Islam itu sudah menghuni Rakhine sejak berabad-abad silam. Namun, otoritas Myanmar menolak memberikan status kewarganegaraan Myanmar kepada orang Rohingya, meskipun era demokrasi sudah berlangsung di Myanmar sejak kepemimpinan Aung San Suu Kyi.
Sejak Agustus 2017, konflik berdarah pecah di Rakhine. Suu Kyi lantas menuai kritik dan kecaman keras dari masyarakat sipil dunia maupun pemimpin-pemimpin global. Sebab, peraih Hadiah Nobel bidang perdamaian dunia itu sampai kini tidak menyuarakan simpati atas penderitaan orang-orang Rohingya.
Saat Myanmar masih dikuasai junta militer, nama Aung San Suu Kyi mendapatkan simpati utamanya dari negara-negara Barat. Sebab, dia dinilai memperjuangkan demokrasi di tengah masyarakat Myanmar yang dihegemoni rezim militer.
Namun, kini Suu Kyi tidak menegaskan dirinya bersikap berseberangan dengan operasi militer Myanmar atas etnis Rohingya. Meski begitu, otoritas militer Myanmar mengklaim tindakan bersenjatanya hanya menarget pejuang-pejuang Rohingya, alih-alih masyarakat sipil.
Sidang DK PBB tentang krisis Rohingya dijadwalkan berlangsung sejak hari ini, Rabu (13/9). Sidang ini atas usulan perwakilan Inggris dan Swedia di PBB.