REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemimpin nasional Myanmar Aung San Suu Kyi menghadapi kemarahan internasional atas kekerasan etnik yang memaksa sekitar 370 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Suu Kyi mengumumkan jika ia tidak akan menghadiri Majelis Umum PBB karena ada krisis Rohingya. Hal ini disampaikan juru bicaranya pada Rabu, (13/9).
Eksodus pengungsi Rohingya ke Bangladesh yang dipicu oleh kekerasan tentara Myanmar terhadap Rohingya adalah masalah terbesar yang dihadapi Suu Kyi sejak menjadi pemimpin Myanmar tahun lalu.
Para kritikus meminta agar Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Suu Kyi dicabut sebab dia dinilai gagal menghentikan persekusi terhadap minoritas Rohingya.
Dalam pidato pertamanya di Majelis Umum PBB sebagai pemimpin Myanmar pada September tahun lalu, Suu Kyi membela upaya pemerintahnya untuk menyelesaikan krisis Muslim Rohingya.
Tahun ini, kantor Suu Kyi mengatakan, ia tidak akan hadir karena ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh gerilyawan Rohingya dan masih berupaya untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas.
"Dia mencoba mengendalikan situasi keamanan demi perdamaian dan stabilitas internal. Ini dilakukan untuk mencegah penyebaran konflik komunal," kata Juru Bicara kantor Suu Kyi, Zaw Htay.
Myanmar telah menolak gencatan senjata yang diumumkan oleh gerilyawan Rohingya, Salvage Army Arakan Rohingya (ARSA) untuk memberikan kesempatan bagi masuknya bantuan ke Rakhine.
Myanmar menolak gencatan senjata dengan mengatakan, pihaknya tidak melakukan negosiasi dengan para teroris. Pemerintahan Trump meminta agar warga sipil di Myanmar diberikan perlindungan.