REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Kekerasan baru-baru ini yang terjadi di Myanmar telah mendorong ratusan ribu Muslim Rohingya untuk berlindung dengan melintasi perbatasan ke Bangladesh dan negara-negara lain. Meski demikian, di manapun berada, mereka tetap menghadapi kesulitan dan ketidakpastian.
Di Malaysia, ada sekitar 56 ribu pengungsi Rohingya yang terdaftar di agen pengungsi PBB. Diperkirakan sekitar 40 ribu lainnya sedang menunggu status pengungsi, karena dengan mendapatkan kartu pengungsi PBB, umumnya mereka dilindungi penangkapan.
Mereka tinggal di pinggiran dan tidak dapat bekerja secara legal. Hal tersebut karena Malaysia, sama seperti Thailand dan Indonesia, tidak mengakui pencari suaka atau pengungsi.
Sebagian besar melakukan pekerjaan kotor atau berbahaya yang tidak dilakukan oleh penduduk Malaysia. Mereka tinggal di pemukiman kumuh, flat yang sempit, atau rumah-rumah terpencil dekat tempat mereka bekerja di lokasi konstruksi, restoran, pabrik, atau perkebunan.
Mereka tidak memiliki akses terhadap perawatan kesehatan gratis dan sekolah negeri. Meski demikian, mereka mengaku kehidupan di Malaysia lebih baik jika dibandingkan dengan kehidupan di Myanmar. "Hanya adik laki-laki saya dan satu kakak laki-laki yang masih hidup di Myanmar. Sisanya terbunuh," ujar Muhammad Ayub, salah satu pengungsi Rohingya di Myanmar.
Ayub telah tinggal selama empat tahun di sebuah permukiman kumuh kecil di pinggiran Kuala Lumpur. Rumahnya dekat dengan sebuah masjid kecil dan sebuah sekolah yang mengajarkan anak-anak membaca Alquran. "Jika Myanmar menjamin keamanan Rohingya. Saya pasti akan kembali," kata Ayub.
Warga Rohingya lainnya yang telah berada di Malaysia selama enam tahun, Ibrahim Mohamad Hussein, mengatakan dia khawatir dengan nasib kerabatnya yang masih berada di Myanmar.
"Mereka telah meningkatkan kehadiran militer. Tidak ada yang diizinkan masuk atau keluar. Mereka tidak memiliki makanan, tidak ada pekerjaan. Sulit bagi mereka," ujar Hussein.
Awal tahun ini, Malaysia memulai sebuah proyek percontohan untuk memberikan akses pekerjaan kepada pengungsi Rohingya, yang memegang kartu UNHCR. Hal ini dilakukan untuk mencegah mereka dieksploitasi sebagai buruh murah.
Namun para pejabat mengeluh karena kebanyakan warga Rohingya tidak ingin meninggalkan komunitas mereka untuk bekerja di perkebunan atau pabrik yang jauh.
Malaysia telah semakin berhati-hati karena dibanjiri oleh masuknya migran. Pada 2015, kapal yang membawa pengungsi Rohingya dari Bangladesh didorong kembali ke perairan internasional oleh angkatan laut Malaysia.
Namun, pada Senin (11/9), pejabat Malaysia mengatakan Malaysia berjanji siapapun yang datang dengan kapal akan diperlakukan secara manusiawi. Direktur Jenderal Penegakan Maritim Malaysia Zulkifli Abu Bakar mengatakan, pendatang baru akan diberi bantuan air, makanan, dan medis, sebelum diserahkan ke Departemen Imigrasi.
Sementara di India, warga Rohingya terancam dideportasi kembali ke Myanmar oleh pemerintah Hindu-nasionalis. Bahkan jika Rohingya diizinkan tinggal di India, hidup mereka tetap akan jauh dari aman.
Ada sekitar 40 ribu warga Rohingya yang tinggal di seluruh negeri, termasuk di Kota Jammu di Kashmir, di ibu kota New Delhi, dan di Kota Hyderabad di selatan. Tapi hanya 16.500 yang terdaftar di agen pengungsi PBB.
Di Kota Jammu yang didominasi warga Hindu, sedikitnya 6.000 warga Rohingya tinggal di tempat penampungan sementara. Tempat penampungan itu terbuat dari kain burlap dan lembaran plastik yang kotor.
Komunitas bisnis di kota tersebut baru-baru ini mengumumkan sebuah kampanye untuk mengidentifikasi dan membunuh warga Rohingya. Namun kemudian mereka membatalkannya setelah pemerintah mengumumkan rencana deportasi. "Mereka tidak berhak berada di wilayah ini," kata Rakesh Gupta, Presiden Kamar Dagang dan Industri di Jammu.
Lebih dari 2.100 kilometer ke selatan, di kota Hyderabad, sebanyak 4.000 warga Rohingya terancam diusir dari tempat penampungan sementara. Kali ini tempat penampungan sementara mereka terbuat dari terpal yang ditarik di atas tiang bambu.
"Rencana pemerintah yang akan mengirim kami kembali sangat menakutkan. Saya ingin memberi tahu pemerintah: Alih-alih mengirim kami kembali ke Myanmar untuk mati, tolong bunuh kami. Setidaknya kami akan mendapatkan pemakaman yang tepat di sini," kata seorang pengungsi Rohingya, Hameed Ul Haque.
Populasi Muslim Hyderabad dan beberapa pemimpinnya telah menuntut agar para pengungsi Rohingya diizinkan tinggal. Kelompok bantuan juga membantu mereka untuk mendapatkan kartu identitas dari UNHCR, yang akan memakan waktu sekitar tiga bulan. "Tidak ada rencana untuk mengirim pengungsi kembali tanpa memastikan keamanan mereka. Ini bukan isu Muslim saja. Ini adalah masalah kemanusiaan," ujar Wakil Kepala Menteri Negara Bagian Mohammad Mahmood Ali.
Perdana Menteri India Narendra Modi tidak membahas krisis Rohingya dalam kunjungannya pekan lalu ke Myanmar. Namun melalui Kementerian Luar Negeri ia mengatakan India prihatin dengan kekerasan tersebut dan meminta Myanmar untuk menahan diri.