REPUBLIKA.CO.ID,Intervensi Alqaidah dalam krisis kemanusiaan di Myanmar memicu kekhawatiran baru bahwa kaum militan Rohingya mendapat dukungan dari kelompok jihad global, termasuk ISIS.
Alqaidah mengeluarkan sebuah pernyataan yang mendesak umat Islam di seluruh dunia untuk mengirim bantuan, senjata dan dukungan militer kepada Muslim Rohingya di negara bagian mayoritas Buddha, Rakhine.
Hampir 400 ribu warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak akhir Agustus 2017 akibat tindakan brutal militer Myanmar. Tindakan itu disebut sebagai pembalasan atas serangan militan Rohingya di beberapa pos polisi dan sebuah pangkalan militer.
Alqaidah memperingatkan bahwa Myanmar akan menghadapi hukuman atas "kejahatan terhadap warga Rohingya". "Perlakuan buas tersebut ditujukan kepada saudara-saudara kita sesama Muslim... tidak akan dibiarkan tanpa hukuman," kata sebuah pernyataan Al Qaida, yang dipantau kelompok SITE.
"Pemerintah Myanmar harus dibuat merasakan apa yang telah dirasakan oleh saudara Muslim kita," demikian ditambahkan.
PBB mengutuk tindakan keras Myanmar terhadap Rohingya sebagai suatu pemusnahan etnis. Namun Myanmar mengatakan pihaknya berurusan dengan kelompok teroris, yaitu Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), yang sebelumnya terkait dengan kelompok seperti ISIS.
Mantan duta besar Australia untuk Myanmar, Trevor Wilson, mengatakan bahwa ARSA menunjukkan banyak atribut kelompok teroris Islam di tempat lain.
"ARSA mengumumkan hubungan dengan ISIS, menggunakan propaganda anti-otoriter yang keras, dan menunjukkan kemauan untuk menggunakan senjata ke dalam apa yang sebelumnya 'perjuangan politik tak bersenjata'," tulisnya Wilson dalam publikasi online Asian Studies Association.
"Sifat oportunis profil mereka secara publik, dan pemanfaatan warga Rohingya biasa untuk menutupi ekstremisme mereka sendiri merupakan atribut bersama.
Wilson mengatakan pengaruh ARSA dalam ketidakstabilan di Myanmar telah menarik perhatian dari badan-badan intelijen. Dia secara khusus merujuk laporan di sebuah situs berita yang dikelola oleh wartawan Myanmar - Mizzima - yang mengatakan bahwa ISIS dan Pakistan berada di balik serangan Rohingya terhadap pasukan keamanan Myanmar.
Dikatakan, pemimpin Rohingya di balik serangan tersebut, Hafiz Tohar, telah berbicara panjang lebar dengan para ekstremis di Pakistan dan Irak dalam dua hari sebelum serangan terhadap pos keamanan Myanmar bulan lalu.
"Pejabat intelijen India dan Bangladesh mengatakan mereka telah menyadap tiga percakapan telepon berdurasi panjang antara Hafiz Tohar, yang menjadi kunci mengapa kelompok militan ini melancarkan serangan fajar melawan pasukan keamanan Myanmar," kata laporan tersebut.
Laporan ini mengutip seorang perwira intelijen Bangladesh yang tidak disebutkan namanya. Dia mengatakan bahwa serangan terhadap pasukan Myanmar bertujuan menimbulkan masalah bagi Pemerintah Aung San Suu Kyi di Myanmar dan memperkuat pemberontakan Rohingya di negara bagian Rakhine.
Tohar diyakini telah berlatih dengan Taliban Pakistan, dan secara luas dipersalahkan atas serangan serupa di Myanmar pada Oktober tahun lalu.
Mendapatkan senjata
Laporan Mizzima sulit diverifikasi. Namun laporan lain memperkuat bukti adanya kaitan antara kelompok jihad dan ekstremisme militan di Myanmar.
Dalam sebuah langkah terpisah, pemimpin ISIS di Bangladesh, Syaikh Abu Ibrahim al-Hanif, telah berjanji untuk meluncurkan "operasi di Burma begitu kita mencapai kemampuan untuk melakukannya".
"Warga Muslim di Burma telah ditindas oleh umat Budha musyrik untuk waktu yang lama," katanya dalam sebuah wawancara dengan Dabiq, sebuah majalah ISIS, tahun lalu.
Seorang pakar keamanan Australia memperingatkan bahwa seruan Alqaidah dan ISIS untuk memobilisasi sumber daya di Myanmar - meski tidak mengejutkan - dapat menyebabkan aliran persenjataan berat ke tangan militan Rohingya.
"Ada sejumlah kelompok militan militan di Bangladesh. Mereka mungkin punya cara mengirimkan senjata ke kelompok Rohingya," kata Greg Fealy, pakar politik Indonesia pada Australian National University.
"Salah satu hal yang kita saksikan bulan lalu adalah perlawanan dari sejumlah warga Rohingya yang mengungsi. Serangan terhadap pos polisi, pos militer, di negara bagian Rakhine," katanya.
"Namun sebagian besar dengan menggunakan instrumen benda tajam, pedang, parang, yang seperti itu. Sangat sedikit senjata mereka, warga Rohingya yang menyerang itu. Jadi kita melihat adanya eskalasi yang cukup besar dalam konflik ini," jelasnya.
"Karena mereka komunitas yang sangat tertekan dan ada permusuhan besar terhadap apa yang terjadi pada mereka di Myanmar. Sehingga hal itu akan memperburuk situasi yang sudah serius," tambahnya.
Diterbitkan Jumat 15 September 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia di sini.