REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintahan Myanmar menyatakan, pejabat Amerika Serikat (AS) yang berkunjung tidak akan diizinkan pergi ke wilayah Rakhine. Di Rakhine, kekerasan terjadi dan menimbulkan eksodus hampir 400 ribu Muslim Rohingya ke Bangladesh.
Deputi Asisten Menteri Luar Negeri AS Patrick Murphy berkunjung ke Myanmar untuk menyuarakan keprihatinan Washington tentang Rohingya dan mendesak akses yang lebih besar ke wilayah konflik bagi para pekerja kemanusiaan. Hal ini disampaikan Kementerian Luar Negeri AS, Jumat (15/9).
Para pejabat Myanmar mengatakan, Murphy akan bertemu dengan pemimpin Pemerintah Myanmar di ibu kota, Naypyitaw. Murphy juga akan menghadiri sebuah pidato kenegaraan oleh Aung San Suu Kyi pada hari Selasa depan.
"Murphy juga akan mengunjungi Sittwe, dan bertemu dengan Gubernur Rakhine," kata Sekretaris Pemerintah Tin Maung Swe.
Murphy, ujar Maung Swe, tidak diizinkan untuk pergi ke distrik Maungdaw, di jantung perselisihan yang dimulai saat gerilyawan Rohingya menyerang pos polisi dan sebuah kamp tentara dan membunuh belasan orang.
Hampir 400 ribu pengungsi Rohingya telah melintasi perbatasan ke Bangladesh. Ini menimbulkan kekhawatiran makin meningkatnya krisis kemanusiaan di Myanmar.
Namun sayangnya, akses untuk pekerja penyalur bantuan dan wartawan sangat dibatasi. Myanmar bersikeras pihaknya tidak melarang pekerja bantuan untuk masuk. Namun seorang juru bicara pemerintah mengatakan, pihak berwenang di lapangan khawatir mengenai keamanan.
Para pengamat HAM dan orang Rohingya yang melarikan diri mengatakan, tentara dan Buddha garis keras melakukan pembakaran rumah-rumah bertujuan mengusir penduduk Muslim. Seorang fotografer Reuters di sisi perbatasan Bangladesh mengatakan, ia melihat asap besar hitam mengepul di Myanmar pada hari Jumat.
Sementara, organisasi bantuan internasional mengatakan, pengungsi terus-menerus datang. "Tidak ada tanda-tanda bahwa arus orang ini akan berhenti," kata Chris Lom dari International Organisation for Migration.