REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembersihan etnis Rohingya di Myanmar saat ini dinilai sebagai tragedi kemanusiaan yang terburuk setelah Perang Dunia II (PD II). Karena itu, tekanan keras dunia internasional untuk Myanmar dianggap harus segera dilakukan.
"Tragedi yang terjadi di Rakhine State bukan hanya diskriminasi, melainkan genosida atau pembunuhan massal. Orang diusir dengan cara rumahnya dibakar, ditembaki, begitu pergi ditanami ranjau sehingga tak bisa kembali," ungkap Direktur Crisis Center for Rohingya (CC4R) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta di tengah Aksi Bela Rohingya di Jakarta, Sabtu (16/9).
Ia menyebutkan, dunia internasional sudah memberikan kecaman terhadap kekejian tersebut. Namun, pemerintah Myanmar tetap bergeming. Sukamta pun mengungkapkan, tekanan keras dan segera harus diberikan kepada Myanmar agar tragedi kemanusiaan yang masuk ke kategori luar biasa ini usai. "Kalau dunia internasional tidak turun, mungkin kita tidak akan pernah melihat lagi orang Rohingya di Myanmar," jelas Sukamta.
Di seluruh Indonesia, menurut Sukamta, dana kemanusiaan yang telah dikumpulkan untuk etnis Rohingya sudah mencapai Rp 3,8 miliar hingga sebelum aksi digelar. Aksi itu sendiri juga melakukan penggalangan dana.
"Semua dana kemanusiaan CC4R akan disumbangkan melalui lembaga sosial yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) yang sudah lama bekerja membantu Rohingya," sebut Sukamta.