REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengungsi Rohingya di Bangladesh terancam kematian karena kekurangan makanan, tempat tinggal, dan air. Lembaga bantuan kemanusiaan Save the Children mulai memberikan peringatan pada Ahad (17/9).
"Banyak orang yang datang dengan lapar, kelelahan, dan tanpa makanan atau air," ujar Mark Pierce, Direktur Save the Children untuk Bangladesh dalam sebuah pernyataan.
"Saya sangat khawatir permintaan akan makanan, tempat tinggal, air serta dukungan kebersihan dasar tidak terpenuhi karena banyaknya orang yang membutuhkan. Jika mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar, penderitaan akan semakin memburuk dan kehidupan bisa hilang," tambah dia.
Bangladesh telah berpuluh-puluh tahun menghadapi arus masuk Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar. Bangladesh sudah telah menjadi rumah bagi 400 ribu Rohingya sebelum krisis terakhir meletus pada 25 Agustus, ketika gerilyawan Rohingya menyerang pos polisi dan sebuah kamp tentara, yang menewaskan belasan orang.
Pierce mengatakan, respon kemanusiaan harus ditingkatkan dengan cepat. "Ini hanya bisa diselesaikan jika masyarakat internasional menambah dana bantuan," katanya.
Etnis Rohingya mengatakan pasukan keamanan Myanmar dan warga Buddha Rakhine menanggapi serangan gerilyawan Rohingya 25 Agustus dengan operasi kekerasan. Myanmar menolak tuduhan kekerasan yang terjadi di Rakhine.
Mereka mengatakan, pasukan keamanan melakukan operasi militer untuk melawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang mengaku bertanggung jawab atas serangan Agustus dan serangan serupa pada Oktober.
Pemerintah Myanmar telah mengumumkan kelompok tersebut sebagai sebuah organisasi teroris. Myanmar juga menuduh ARSA menyebabkan kebakaran dan menyerang warga sipil.
Sedikitnya lebih dari 430 orang terbunuh, yang mayoritas dari mereka adalah pemberontak. Sekitar 30 ribu penduduk desa yang non Muslim juga telah mengungsi. Human Rights Watch (HRW) mengatakan, citra satelit menunjukkan 62 desa Rohingya telah hangus terbakar.
Pemimpin pemerintah Myanmar dan peraih Nobel Aung San Suu Kyi menghadapi serangkaian kritik dari luar negeri karena tidak berupaya menghentikan kekerasan. Militer tetap memegang kendali penuh atas kebijakan keamanan dan hanya ada sedikit simpati terhadap Rohingya.