REPUBLIKA.CO.ID, SITTWE -- Ribuan Muslim Rohingya di desa terpencil di Negara Bagian Rakhine merasa khawatir dengan bahaya yang akan mereka hadapi dalam perjalanan mengungsi. Mereka meminta pihak berwenang untuk menjamin keamanan mereka.
"Kami ketakutan. Kami akan kelaparan sebentar lagi dan mereka mengancam akan membakar rumah kami," ujar Maung Maung, warga Rohingya di desa Ah Nauk Pyin.
Maung Maung mengatakan dia telah menghubungi polisi setidaknya 30 kali untuk melaporkan ancaman terhadap desanya. Pada 13 September, katanya, dia mendapat telepon dari seorang penduduk desa Rakhine yang dia tidak kenal. "Tinggalkan besok atau kami akan datang dan membakar semua rumah Anda," kata pria itu, menurut sebuah rekaman yang Maung Maung berikan kepada Reuters.
Ketika Maung Maung mengatakan mereka tidak punya sarana untuk melarikan diri, pria itu menjawab: "Itu bukan masalah kami."
Pada 31 Agustus, polisi mengadakan pertemuan di pinggir jalan antara dua desa, yang dihadiri oleh tujuh warga Rohingya dari Ah Nauk Pyin dan 14 pejabat Rakhine dari desa-desa sekitar. Alih-alih menangani keluhan warga Rohingya, pejabat Rakhine justru menyampaikan sebuah ultimatum. "Mereka mengatakan mereka tidak ingin ada Muslim di wilayah ini dan kami harus segera pergi," kata seorang warga Rohingya di desa Ah Nauk Pyin yang meminta namanya dirahasiakan.
Maung Maung mengatakan warga Rohingya setuju, tapi hanya jika pihak berwenang memberikan jaminan keamanan. Dia menunjukkan kepada Reuters sebuah surat yang dikirim oleh sesepuh desa kepada pihak berwenang Rathedaung pada 7 September, yang meminta warga Rohingya untuk dipindahkan ke tempat lain, tapi belum mendapatkan tanggapan.
Ah Nauk Pyin telah terisolasi setelah terjadi serangan terbaru pada 25 Agustus lalu. Saat itu serangan mematikan oleh militan Rohingya di Negara Bagian Rakhine memicu respon keras dari pasukan keamanan Myanmar. Ah Nauk Pyin berada di semenanjung bakau di Rathedaung, satu dari tiga kota di Negara Bagian Rakhine utara. Penduduk desa mengatakan mereka tidak memiliki perahu untuk menyeberang.
Ada 21 desa Muslim di Rathedaung, bersama dengan tiga kamp pengungsi Muslim yang dibangun saat kekerasan terjadi tahun lalu. Sebanyak 16 desa dan ketiga kamp pengungsi itu telah dikosongkan dan dibakar, hingga memaksa sekitar 28 ribu warga Rohingya melarikan diri.
Lima desa Rohingya di Rathedaung yang masih ada bersama 8.000 penduduknya, saat ini dikelilingi oleh umat Buddha Rakhine dan sangat rentan terhadap kekerasan. Situasinya sangat mengerikan di desa Ah Nauk Pyin dan desa Naung Pin Gyi, karena mereka memiliki rute pelarian yang panjang dan sulit ke Bangladesh.
Tin Maung Swe, menteri pemerintah Negara Bagian Rakhine, mengatakan dia tidak menerima informasi mengenai permohonan warga Rohingya akan jaminan keselamatan perjalanan mereka. Namun ia mengaku telah bekerja sama dengan pihak berwenang di Rathedaung. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Rathedaung Selatan benar-benar aman," kata dia.
Juru bicara Kepolisian Nasional Myanmar Myo Thu Soe mengatakan dia juga tidak memiliki informasi tentang desa Rohingya yang terisolasi, namun dia akan menyelidiki masalah tersebut.
Sementara itu, juru bicara Biro Asia Timur di Departemen Luar Negeri AS, Katina Adams, mengatakan AS telah mendesak pasukan keamanan Myanmar untuk bertindak sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku. Ia juga meminta dihentikannya kekerasan dan penderitaan individu dari semua komunitas. "Puluhan ribu orang dilaporkan kekurangan makanan, air, dan tempat penampungan yang memadai di Negara Bagian Rakhine utara. Pemerintah harus segera bertindak untuk membantu mereka," ujar Adams.
Adams mengatakan Patrick Murphy, asisten Kementerian Luar Negeri AS untuk Asia Timur, akan menyatakan langsung keprihatinan serius AS tentang situasi di Rakhine saat dia bertemu dengan pejabat senior di Myanmar pekan ini. Inggris akan menjadi tuan rumah pertemuan tingkat menteri pada Senin (18/9) di sela-sela Sidang Umum tahunan PBB di New York, untuk membahas situasi di Rakhine.