Selasa 19 Sep 2017 14:40 WIB

Amnesty: Suu Kyi tak Mengatakan Sebenarnya

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Aung San Suu Kyi.
Foto: AP
Aung San Suu Kyi.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Amnesty International menuduh Aung San Suu Kyi dan pemerintahnya tidak mengatakan kebenaran mengenai apa yang dialami oleh minoritas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine. Dalam sebuah pidato yang disiarkan langsung di televisi Myanmar, Suu Kyi membela negaranya dari kritik internasional.

Ia mengatakan lebih dari separuh desa Rohingya tidak terpengaruh oleh kekerasan. Suu Kyi juga mengundang para diplomat dan pengamat asing untuk mengunjungi desa-desa itu untuk melihat langsung.

 

"Aung San Suu Kyi hari ini menunjukkan bahwa dia dan pemerintahnya masih tidak peduli atas kengerian yang terjadi di Negara Bagian Rakhine. Pidatonya dicampuri dengan ketidakbenaran dan menyalahkan korban," ujar Direktur Regional Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik, James Gomez, dikutip The Independent.

 

"Ada banyak bukti pasukan keamanan terlibat dalam kampanye pembersihan etnis. Meskipun Aung San Suu Kyi mengecam pelanggaran hak asasi manusia di Negara Bagian Rakhine, dia masih diam mengenai peran pasukan keamanan dalam hal ini," ungkapnya.

 

James Gomez melanjutkan, Aung San Suu Kyi mengklaim pemerintahnya 'tidak takut dengan pengawasan internasional'.  Namun faktanya Myanmar telah berulang kali mengatakan tidak akan bekerja sama dengan Misi Pencarian Fakta yang diberi mandat oleh PBB.

 

"Jika Myanmar tidak menyembunyikannya, maka negara ini harus mengizinkan penyidik PBB masuk ke negara tersebut, termasuk Negara Bagian Rakhine," tambah Gomez.

 

Pemerintah juga harus segera mengizinkan akses aktor kemanusiaan yang penuh dan tidak terbatas ke semua wilayah dan orang-orang yang membutuhkan di daerah.

 

Meskipun Suu Kyi secara de facto adalah pemimpin Myanmar sejak 2016, dia dinilai tidak memiliki pengaruh kuat karena kepresidenan dan rezimnya masih berada di bawah junta militer yang telah menguasai negara tersebut sejak kudeta 1962. Militer masih menduduki mayoritas kursi di parlemen dan dapat menghalangi usaha untuk mereformasi konstitusi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement