Rabu 20 Sep 2017 16:38 WIB

Perusahaan Senjata Inggris Raup Keuntungan dari Perang Yaman

Rep: Marniati/ Red: Andri Saubani
Salah satu sudut kota di Yaman yang hancur akibat perang.
Foto: Reuters
Salah satu sudut kota di Yaman yang hancur akibat perang.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- War Child Inggris menuduh produsen senjata Inggris mengambil keuntungan dari kematian anak-anak yang tidak bersalah dalam perang di Yaman. Dilansir dari Middle East Monitor, Rabu (20/9), badan amal yang berbasis di London tersebut mengungkapkan, perusahaan senjata Inggris memperoleh pendapatan dua kali lipat dari dari penjualan senjata ke Arab Saudi.

Angka yang dipublikasikan dalam laporan tersebut menunjukkan bahwa sejak perang di Yaman dimulai pada 2015, perusahaan senjata besar Inggris telah menghasilkan lebih dari 6 miliar dolar AS. Dalam laporannya, organisasi amal ini mempertanyakan dasar moral dan hukum penjualan senjata Inggris ke Kerajaan Teluk yang dituduh melakukan kejahatan perang di Yaman.

Menurut War Child, hal ini akan membawa tekanan tambahan bagi Menteri Pertahanan Inggris Michael Fallon yang terus mempertahankan ekspor senjata ke wilayah Timur Tengah. Inggris telah menjadi pendukung setia kampanye Yaman. Konflik tersebut telah berkecamuk sejak tahun 2014, ketika milisi dan sekutu Houthi menyerbu banyak negara, termasuk ibu kota Sana'a.

"Ini secara moral menjijikkan bahwa pemerintah Inggris mengizinkan perusahaan membuat keuntungan dari kematian anak-anak yang tidak bersalah.Ribuan anak telah meninggal dan jutaan lainnya berisiko," kata perwakilan War Child, Selasa (19/9).

Menurut War Child, pemerintah Inggris terlibat dalam penderitaan korban perang Yaman dan membenarkannya dengan janji kemakmuran ekonomi. Sebuah koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi meluncurkan sebuah serangan udara besar setahun kemudian yang bertujuan untuk mengalahkan Houthi dan mengembalikan kekuasaan Presiden Abdul Rabbuh Mansur Hadi.

Perang di Yaman telah menewaskan setidaknya 10 ribu orang, menghancurkan ekonomi Yaman. Perang juga mengakibatkan epidemi kolera  dan memaksa jutaan orang meninggalkan rumah mereka di tengah krisis kelaparan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement