REPUBLIKA.CO.ID, KUTUPALONG -- Dokter Lintas Batas atau Mdecins Sans Frontires (MSF) menggambarkan kondisi buruk kamp pengungsian darurat bagi warga Rohingya di Bangladesh. Sebagian besar pengungsi yang baru tiba ditempatkan di kamp darurat tanpa akses yang memadai untuk mendapatkan makanan, air bersih, atau kakus.
Dua kamp permukiman darurat di Kutupalong dan Balukhali telah digabungkan menjadi satu kamp besar dengan kepadatan hampir 500 ribu pengungsi. Dengan demikian, kamp ini menjadi salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia.
"Pemukiman ini pada dasarnya adalah kawasan kumuh pedesaan yang dibangun di sisi jalan dua jalur yang membelah bagian distrik ini," kata Kate White, Koordinator Medis Darurat MSF, dalam pernyataan resminya yang diterima Republika.co.id, Jumat (22/9).
Ia menjelaskan, tidak adanya jalan masuk atau keluar dari pemukiman, membuat pengiriman bantuan menjadi sangat sulit. Kamp yang terletak di medan berbukit-bukit dan rawan longsor ini juga tidak tersedia jamban, sehingga relawan harus melalui air kotor dan kotoran manusia.
Para pengungsi yang haus, akan meminum air dari sawah, genangan air, atau sumur dangkal yang digali dengan tangan, karena sulitnya akses air bersih. Di fasilitas medis MSF di Kutupalong, sebanyak 487 pasien dirawat karena penyakit diare antara 6 hingga 17 September.
"Kami menerima orang dewasa setiap hari di titik puncak kematian akibat dehidrasi. Ini memberi sinyal bahwa keadaan darurat kesehatan masyarakat telah terjadi di sekitar sini," ujar White.
Ketahanan pangan di dalam dan sekitar pemukiman juga sangat rapuh. Pengungsi yang baru tiba benar-benar bergantung pada bantuan kemanusiaan. "Dengan sedikit uang dan distribusi makanan yang kacau, padat, dan tidak mencukupi, banyak warga Rohingya hanya makan satu kali nasi putih per hari," kata White.
"Beberapa pengungsi mengatakan kepada kami, setelah berhari-hari tanpa makanan akhirnya mereka makan semangkuk nasi yang mereka terima dari pemilik restoran Bangladesh, yang dibagi kepada enam orang anggota keluarga," tambah dia.
Sementara itu, fasilitas medis, termasuk klinik MSF di kamp ini juga benar-benar kewalahan. Antara 25 Agustus hingga 17 September, klinik MSF menerima 9.602 pasien rawat jalan, 3.344 pasien gawat darurat, 427 pasien rawat inap, 225 pasien dengan korban kekerasan, dan 23 kasus kekerasan seksual.
Selain itu, ada risiko wabah penyakit menular yang sangat tinggi di wilayah tersebut, mengingat peningkatan populasi yang sangat besar dan cepat. Cakupan vaksinasi yang rendah juga terjadi di kalangan masyarakat Rohingya.
White menuturkan, kampanye vaksinasi komprehensif untuk campak dan kolera perlu diluncurkan segera untuk mengurangi risiko wabah serta melindungi masyarakat Rohingya dan Bangladesh. Sebagai antisipasi, MSF telah menyiapkan unit isolasi di fasilitas medis Kutupalong untuk secara cepat menampung kasus kolera atau campak yang teridentifikasi.
"Situasi di kamp sangat sangat rapuh, terutama berkenaan dengan tempat tinggal, makanan, air, dan sanitasi. Satu peristiwa kecil dapat menyebabkan wabah yang mungkin merupakan titik kritis antara krisis dan malapetaka," kata Robert Onus, Koordinator Darurat MSF.