REPUBLIKA.CO.ID, BANGLADESH -- Abdul Hamid (12) hanya bisa pasrah menerima keadaan yang menimpanya. Dia menyaksikan sendiri ayahnya ditembak mati oleh tentara Myanmar. Di usia yang sangat muda, Hamid harus menjadi pelindung bagi ibu dan empat orang adiknya.
Sama seperti Muslim Rohingya lainnya, Hamid dan keluarganya harus melarikan diri dan bersembunyi di hutan selama berhari-hari hingga akhirnya mencapai Bangladesh. Dia harus berjalan kaki selama dua untuk menjangkau wilayah itu.
Sebagai yang sosok lelaki yang paling tua di keluarganya, Hamid berusaha melakukan yang terbaik untuk adik dan ibunya. Hamid tidak sendiri, karena hal serupa juga dialami oleh ratusan bahkan ribuan anak lainnya. Mereka semua terpisah dari keluarga.
Menyaksikan sendiri pembunuhan yang dilakukan terhadap keluarga mereka, membuat anak-anak Muslim Rohingya ini diliputi rasa takut yang mendalam. Belum lagi perjalanan panjang melewati hutan dan melintasi lautan dengan menaiki perahu reyot telah menghadirkan trauma tersendiri bagi mereka.
UNICEF mencatat lebih dari 1.400 anak melewati perbatasan tanpa orang tua mereka. Rasa lapar adalah sesuatu yang selalu menyelimuti anak-anak Muslim Rohingya. Untuk mendapatkan makanan, mereka harus meninggalkan tenda pengungsian untuk pergi dari satu titik ke titik lain.
Banyak dari anak-anak ini berada dalam keadaan sakit, terserang demam hingga diare. Ketersedian air bersih dan kamar kecil sangat terbatas bahkan jarang ditemukan.
"Anak-anak ini telah melewati pengalaman yang sangat buruk dan menyisakan trauma berat," ujar pemerhati anak Fatema Khyrunnar dikutip The Star.
Di tengah kondisi melelahkan ini, Khyrunnar mengatakan anak-anak Muslim Rohingya sangat membutuhkan konseling. Konseling ini penting untuk membantu anak-anak tersebut mengekspresikan apa yang mereka rasakan terutama trauma.