Sabtu 23 Sep 2017 18:54 WIB

Rusia Diduga Retas 21 Negara Bagian AS

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Peretasan. Ilustrasi
Foto: PC World
Peretasan. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON -- Pertanyaan besar mengenai dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan umum (pemilu) Amerika Serikat (AS) pada November 2016 mulai terungkap. Salah satu yang paling spesifik adalah di mana negara itu berhasil atau mencoba melakukan peretasan yang bertujuan memberikan keuntungan kepada salah satu kandidat presiden.

Menurut Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, campur tangan Rusia kemungkinan besar terjadi di 21 negara bagian. Pihaknya pada awal tahun ini menemukan bukti bahwa terjadi aktivitas Moskow yang terdeteksi terjadi di sana. Namun, belum ada bukti kuat untuk meyakinkan bahwa aktivitas tersebut termasuk dalam kejahatan ini.

Sejumlah pejabat pemilu dari 21 negara bagian telah dihubungi oleh pemerintah federal pada Jumat (22/9). Pertanyaan mengenai apakah sistem pemilihan di wilayah tersebut kemungkinan besar memang ditargetkan dalam peretasan oleh Rusia dilakukan.

Sebelumnya, sejumlah pejabat di negara-negara bagian tersebut telah mengeluhkan bahwa pemerintah pusat kurang memberikan informasi mengenai dugaan kejahatan Rusia. Hal itu dianggap menganggu upaya mereka dalam menjamin dan tentunya melindungi pemilu AS yang akan datang.

"Kami telah menerima keluhan itu dan tentu kami menyadari pentingnya bagi para pejabat pemilihan di negara bagian untuk mengetahui apa yang terjadi pada sistem pemilihan mereka," ujar wakil menteri untuk Direktorat Perlindungan dan Dokumentasi Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, Bob Kolasky dilansir WBEZ, Sabtu (23/9).

Salah satu di antara 21 negara bagian AS yang termasuk dalam daftar dugaan target campur tangan Rusia adalah Washington. Sekretaris Negara Bagian Kim Wyman mengatakan bahwa mendapat panggilan dari Departemen Keamanan Dalam Negeri. Namun, nampaknya tak terjadi serangan apapun saat pemilu berlangsung.

"Tidak ada satupun gangguan yang berhasil terjadi saat pemilu November 2016 berlangsung dan kami telah memberitahukan Biro Invetigasi Federal (FBI) atas hal ini," kata Wyman.

Kemudian negara bagian Connecticut juga termasuk di antara yang menjadi target peretasan Rusia. Namun, seperti halnya Washington hal ini nampaknya tidak berhasil dilakukan. Sistem pemilu saat itu berhasil dilindungi dan usaha oleh penyerang diblokir.

Negara bagian lagi yang nampaknya ditargetkan dalam dugaan peretasan Rusia adalah Alabama, Arizona, Colorado, Illinois, Iowa, Maryland, Minnesota, Ohio, Oklahoma, Pennsylvania, Virginia, Wisconsin, dan Oregon juga mengatakan bahwa pihaknya ditargetkan. Namun, mereka berhasil melindungi pemilu dan hal itu kembali tidak berhasil.

"Kabar baiknya, tidak ada yang mempengaruhi penghitungan suara, sebagian besar usaha penyerang saat pemilu tidak berhasil menganggu sistem sama sekali," jelas pernyataan Kolasky.

Hanya ada dua pelanggaran keamanan pemilu 2016 yang dapat dipublikasikan sejauh ini. Pertama adalah hacker bisa mendapatkan akses rekaman puluhan ribu pemilihan di dalam basis data di Illinois. Namun tak ada tanda-tanda ada yang telah diubah maupun dihapus dari sana.

Kemudian, juga ada tanda bahwa peretas mendapat akses ke kata sandi dan kredensial di pusat pemilihan Arizona. Namun, tak ada tanda bahwa ada data-data yang diubah.

Awal tahun ini, laporan dari Agen Keamanan Nasional AS juga mengatakan bahwa ada upaya intelijen Rusia menyusup melalui perangkat lunak komputer. Dari sana, informasi diperoleh untuk mengirim email berbahaya ke 122 kantor pemilihan. Namun, tak ada bukti yang menunjukkan emai tersebut dibuka dan membuat kekacauan sistem pemilu.

Dugaan campur tangan Rusia telah bermunculan sejak Presiden AS Donald Trump terpilih dalam pemilu 2016. Badan Intelijen telah meyakini peretasan dilakukan, termasuk dilakukan selama proses pemungutan tengah berlangsung.

Kasus ini juga semakin mendesak Trump dan tim kampanyenya saat itu, setelah mantan direktur FBI yang dipecat, James Comey memberi kesaksian. Ia mengatakan bahwa upaya penyelidikan dugaan campur tangan Rusia telah dilemahkan oleh Trump dengan berbagai macam cara.

Menurut Comey, Trump telah berbohong dan mencemarkan nama baiknya dan FBI. Selama memberi kesaksian, pria berusia 56 tahun itu juga mengatakan kepada Komite Intelijen Senat bahwa Trumpmencoba memintanya menghentikan penyelidikan terhadap mantan penasihat keamanan nasional ASMichael Flynn pada Februari lalu.

Dalam sesi tanya jawab dengan Komite Intelijen Senat, Comey menegaskan Trump adalah presiden yang tidak dapat dipercaya. Ia meyakini dirinya dipecat karena kasus penyelidikan Rusia dan dianggap dapat membahayakan kepentingan pemerintahan Trump.

Sebelumnya, dalam surat pemecatan terhadap Comey, Trump menyebut diperlukan kembali kepercayaan publik terhadap FBI. Comey dianggap telah mencederai jalannya pemilu AS tahun lalu dengan membuka penyelidikan skandal surat elektronik Hillary Clinton.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement