REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Enam serangan udara AS di sebuah kamp gurun ISIS di Libya menewaskan 17 militan dan menghancurkan tiga kendaraan. Ini merupakan serangan Amerika pertama di Libya sejak Presiden Donald Trump mulai menjabat pada Januari lalu.
Komando Afrika-AS mengatakan, serangan tersebut menargetkan kamp di bagian tenggara Sirte, sebuah kota yang dulunya diduduki ISIS. Kamp tersebut digunakan untuk memindahkan militan masuk dan keluar dari Libya. Kamp dipakai untuk merencanakan serangan dan menyimpan senjata.
"ISIS dan Alqaidah telah mengambil keuntungan dari ruang-ruang tak berdaulat di Libya untuk mendirikan tempat-tempat untuk merencanakan, mengilhami dan mengarahkan serangan teror," katanya.
Penyerangan dilakukan dengan koordinasi dengan Pemerintah Nasional. Seorang pejabat AS, mengatakan serangan udara dilakukan oleh pesawat tak berawak (drone).
Serangan terakhir yang diketahui di Libya terjadi pada 19 Januari, sehar isebelum pelantikan Trump. Saat itu lebih dari 80 militan ISIS, meninggal dalamserangan udara AS di kamp-kamp di luar Sirte.
Serangan itu dipimpin oleh dua pengebom B-2, yang menjatuhkan sekitar 100 amunisi berpanduan presisi di kamp-kamp tersebut. Jonathan Cristol dari Institut Kebijakan Dunia mengaku terkejut dengan tindakan militer Trump di Libya.
"Saya pikir Trump tidak berkeinginan untuk berperang di Libya, tapi dia akan mendengarkan apa yang militer katakan. Saya pikir kita mungkin akan melihat lebih banyak penyerangan," kata Cristol.
ISIS mengambil alih Sirte pada awal 2015, mengubahnya menjadi basis terpenting di luar Timur Tengah dan menarik sejumlah besar militan asing ke kota. Kelompok tersebut memberlakukan peraturan garis keras pada penduduk dan memperpanjang penguasaannya di sepanjang sekitar 250 km garis pantai Mediterania Libya.
Namun mereka dipaksa keluar dari Sirte pada Desember lalu setelah kampanye enam bulan yangdipimpin oleh brigade dari kota barat Misrata dan didukung oleh serangan udara AS. ISIS telah bergeser ke lembah gurun dan bukit pedalaman tenggara Tripoli karena berusaha mengeksploitasi divisi politik Libya setelah kekalahan mereka di Sirte.