REPUBLIKA.CO.ID, Juli 2014 lalu, tepat pada malam pertama Idul Fitri, Amir Ibrahim Al Raqeb, seorang bocah berusia 9 tahun yang tinggal di Khan Younis, bagian selatan Jalur Gaza, terpaksa harus mengalami kejadian mencekam.
Malam yang seharusnya penuh sukacita itu seketika berubah menjadi tragedi memilukan setelah sebuah serangan udara Israel menghantam permukiman rumahnya.
Paman dan dua tetangga Amir tewas akibat serangan tersebut. Amir sempat dikira tewas karena tubuhnya tak ditemukan setelah serangan terjadi. Namun tak lama kemudian warga menemukan Amir tergolek tak sadarkan diri sekitar 100 meter dari tempat jatuhnya serangan. Tubuhnya diselimuti debu dan pasir.
"Amir menderita luka pada tengkoraknya dan patah tulang di rahang," ungkap ibunda Amir, Ibtisam, kala mengingat kejadian itu, seperti dilaporkan laman Aljazirah.
Sejak serangan tersebut, Amir telah menjadi pengunjung tetap rumah sakit. Ia menjalani serangkaian operasi di Israel dan Tepi Barat serta menghabiskan enam bulan di ICU. Hal ini mengakibatkan Amir harus mencampakkan sekolahnya.
Ibtisam juga terpaksa harus menitipkan bayinya yang baru lahir tepat ketika serangan Israel terjadi, yakni 27Juli 2014. Ia menitipkan bayinya agar dapat mendampingi Amir menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Israel.
Kendati telah menjalani operasi dan perawatan, namun Amir harus merelakan mata kirinya kehilangan kemampuan untuk melihat. Koroid atau selaput hitam pada mata kirinya memudar dan berwarna bening akibat terkena pecahan proyektil."Dia (Amir) kehilangan salah satu matanya," kata Ibtisam dengan suara lirih.
Mesikipun kini Amir telah pulih dari luka-lukanya, namun dampak psikologis akibat serangan pada Juli 2014 lalu itu masih menghantuinya. Setiap kali Amir mendengar suara jet tempur Israel melintas, atau suara guntur dan ledakan keras lainnya, Amir akan bergegas berlari membekap orang tuanya.
Tak hanya itu, Amir pun kerap mengalami mimpi buruk dan tak bisa terlelap bila tak tidur di sisi orang tuanya. "Dia mengambil bantalnya dan mengikuti saya, kemudian meletakkan bantalnya di pangkuan saya, kemudian tidur. Bila dia terbangun dan tak menemukan saya atau ayahnya di sebelahnya, dia akan menangis, mencari kita," ucap Ibtisam menuturkan.
Pengalaman Amir pun dirasakan Muntaser Bakr, anak berusia 11 tahun yang juga tinggal di Gaza. Ketika perang 50 hari berkecamuk di Gaza pada Juli hingga Agustus 2014, Muntaser dan teman-temannya menjadi korban serangan rudal Israel.
Saat itu, Muntaser bersama tujuh kerabat dan teman-temannya tengah bermain sepak bola di dekat pantai. Tiba-tiba rudal Israel mendarat tak jauh dari tempat mereka bermain. Muntaser dan tiga saudaranya berhasil selamat dan sisanya tewas akibat serangan itu.
Kendati selamat, Muntaser mengalami koma selama tiga hari. Ketika tersadar dari komanya, ia menjerit-jerit dan berteriak, "Mereka semua mati! Aku membunuh mereka, aku membunuh mereka."
Namun ibunya, Sharifa, yang terus mendampinginya selama masa koma menenangkannya dan berkata, "Kamu tidak membunuh siapa pun."
Sejak saat itu, Muntaser menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Ia kerap berhalusinasi dan menggumamkan kata-kata yang tak dapat dimengerti.Bahkan terkadang kondisi Muntaser tak dapat terkontrol. "Dia mulai menjerit dan kemudian mengalami kejang, kehilangan kesadaran, dan mulai mengepalkan rahangnya. Dia tidak akan tenang sampai kita membawanya ke rumah sakit untuk disuntik," kata Sharifa.
Sharifa mengungkapkan sebelum perang berkecamuk di Gaza pada 2014, Muntaser sangat suka pergi ke pantai. Namun setelah serangan rudal mematikan, anaknya tak lagi pergi ke sana. "Pertama kali dia (Muntaser) kembali ke pantai setelah tragedi tersebut, dia menghabiskan waktu lama untuk melihat laut, lalu dia mulai menangis. Dia tidak kembali lagi (ke pantai)," ucapnya.